Rabu, 03 Juni 2009

KETIKA JILBAB “BERMAIN” POLITIK

Saya ingat, jilab mulai popular setelah revolusi Republik Islam Iran di tahun 70-an. Semula, ia adalah symbol kemuslimahan seorang perempuan. Dengan memakai jilbab, seorang perempuan dinilai sebagai perempuan suci dan terhormat, sehingga banyak laki-laki yang segan menggoda—apalagi mengganggu—perempuan berjilbab. Ketika itu, perempuan berjilbab, di mata kaum lelaki, begitu anggun dan terhormat. Ia adalah lambang kesucian dan kehormatan perempuan terhormat. Namun, lama kelamaan, Ia berubah menjadi mode. Sembarang orang memakai jilbab, sehingga perempuan-perempuan tidak terhormat pun memakainya sebagai sensasi, sebagai penarik perhatian. Akibatnya, nilai sacral yang dulu sangat melekat padanya, berangsur-angsur luntur mengikuti lunturnya akhlak orang yang memakainya.
Kemudian dari pada itu, perjalanan jilbab tidak berhenti sampai di sana. Dari sebuah pakaian penutup kepala, fungsi jilbab mulai meningkat sebagai “pemain” politik. Banyak politisi menjadikan jilbab sebagai “senjata” sosialisasi diri atau kampanye politik, mempengaruhi calon constituent. Maka, muncullah jilbab menjadi “orang” penting dalam percaturan politik (baca:praktis). Di mana-mana jilbab dicari. Di mana-mana jilbab dibeli. Dan, di mana-mana jilbab dinanti. Pokoknya, jilbab menjadi salah satu instrument yang ikut menentikan menang atau kalahnya seseorang dalam pertarungan politik.
Kini, keberadaan jilbab menjadi semakin penting lagi menjelang pemilihan presiden tanggal 8 Juli yang akan datang. Ia tidak hanya dinanti untuk diberi, tetapi diamati untuk dinilai. Apakah keluarga sang calon presiden termasuk orang yang memakai jilbab atau bukan. Oleh karenanya, disadari atau tidak, mau tidak mau, jilbab pun akhirnya menjadi salah satu beban pemikiran yang ikut menambah “beratnya” beban sang calon.
Begitulah perjalanan jilbab, dari panggung reliji sebagai penutup aurat, terus ke panggung bisnis fashion sebagai mode, sampai ke panggung politik sebagai senjata politik. Jilbab akhirnya menjadi sesuatu yang fenomenal.
Tetapi, sahkah memperlakukan jilbab sebagai apa yang disebut terakhir di atas ? Saya tidak mau masuk ke dalam ranah fikhiyah untuk menentukan sah satu tidak sah itu. Saya hanya ingin berkata, mulailah semuanya dengan kesadaran reliji, kesadaran yang akan mengingatkan bahwa semua yang akan dilakukan adalah untuk mencari ridha Yang Maha Kuasa. Semua dilakukan untuk dan dalam rangka menjalankan amanah-Nya yang telah memilih kita sebagai khalifah di muka bumi. Kalau toh harus berkompetsi, berkompetsilah untuk memberikan yang terbaik dalam meraih Cinta-Nya, bukan meraih yang lain dan melupakan keridhaan-Na. Inilah kecerdasan sejati, kecerdasan yang pasti akan mengantarkan kita kepada kemenangan sejati, yaitu kemenangan yang tiada kalah lagi di hari nanti. Semoga.

SIAPAKAH PEMENANG ?

Bangsa Indonesia baru saja mengetahui siapa-siapa saja calon anggota legislative (caleg) yang akhirnya terpilih sebagai anggota legislative di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pemilihan umum (pemilu) tanggal 9 April 2009 yang lalu, baik untuk tingkat kabupaten/kota, propinsi, nasional, dan juga di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada umumnya orang mengatakan bahwa mereka itulah pemenang, dan mereka itulah yang berhak duduk di lembaga perwakilan rakyat sebagai wakil rakyat, sebagai orang-orang terhormat. Tentu saja kita mengucapkan “selamat” untuk mereka, sebuah ucapan yang sesungguhnya membebani mereka untuk masa lima tahun ke depan.

Ya. Mereka disebut “pemenang,” memenangkan sebuah “pertarungan sengit” yang melibat semua potensi yang di miliki: tenaga; waktu; dana; dan bahkan mungkin juga harga diri. Begitu beratnya perjuangan itu, wajar saja, sebagai manusia, mereka merasa senang, lega, gembira, atau mungkin saja “lupa diri” sesaat. Tetapi, merekakah pemenang yang sesungguhnya ?

Inilah pertanyaan yang perlu disadari oleh siapa saja dalam kehidupan ini, terutama siapa saja yang merasa menang dalam perjuangan apapun bentuknya di bumi ini. Karena, bila direnung secara sugguh-sungguh, pemenang adalah orang yang memenangkan sebuah “pertarungan,” mereka mendapat hadiah untuk itu, dan—yang terpenting sekali—mereka bahagia tanpa ada derita setelah itu. Lalu, menangkah namanya mereka yang lolos “melaju” ke kursi DPR seperti disebut di atas ? Saya fikir belum. Karena, kemenangan mereka bukan kemenangan yang sesungguhnya. Kemenangan mereka adalah kemenangan dalam meraih kesempatan untuk bertarung lebih lama lagi. Itu adalah kemenangan semu. Itu adalah kemenangan sementara. Bila yang kalah berhenti di saat kalah, sementara yang menang harus memasuki pertarungan baru untuk mempertaruhkan integritras dirinya dalam memperjuangkan amanah rakyat yang ia raih di pemilu itu. Perjuangan mereka semakin bertambah panjang, sehingga pengorbanan yang harus diberikan juga semakin banyak lagi. Mereka boleh saja menang dalam meraih suara terbanyak di pemilu yang lalu, tetapi belum tentu bisa memang dalam memperjuangankan nasib rakyat di lembaga perwakilan nanti, sehingga kalah dalam meraih simpati rakyat di masa datang. Dan, bila yang terjadi adalah yang disebut terakhir, maka mereka adalah orang yang kalah.

Lalu, siapakah pemenang yang sesungguhnya itu ?

Pemenang yang sesungguhnya adalah yang menang di ujung perjalanan hidupnya. Kemenangan itu adalah kemenangan di akhir hayat, husnul khatimah di saat menghembuskan nafas terakhir, dan jannatul firdaus saat memasuki keabadian di alam baqa. Inilah kemenangan sesungguhnya, kemenangan yang tidak ada kekalahan lagi setelah itu. Inilah agaknya yang diingatkan oleh Nabi dalam sebuah ucapan beliau yang didengar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Nabi berkata “ada sekelompok orang dari umatku yang teguh menegakkan kebenaran, tidak merasa berbahaya dengan tantangan dan hinaan, sampai datang saat panggilan Allah sementara mereka berada dalam posisi menang di atas orang lain.”(HR.Muslim).