Kemudian dari pada itu, perjalanan jilbab tidak berhenti sampai di sana. Dari sebuah pakaian penutup kepala, fungsi jilbab mulai meningkat sebagai “pemain” politik. Banyak politisi menjadikan jilbab sebagai “senjata” sosialisasi diri atau kampanye politik, mempengaruhi calon constituent. Maka, muncullah jilbab menjadi “orang” penting dalam percaturan politik (baca:praktis). Di mana-mana jilbab dicari. Di mana-mana jilbab dibeli. Dan, di mana-mana jilbab dinanti. Pokoknya, jilbab menjadi salah satu instrument yang ikut menentikan menang atau kalahnya seseorang dalam pertarungan politik.
Kini, keberadaan jilbab menjadi semakin penting lagi menjelang pemilihan presiden tanggal 8 Juli yang akan datang. Ia tidak hanya dinanti untuk diberi, tetapi diamati untuk dinilai. Apakah keluarga sang calon presiden termasuk orang yang memakai jilbab atau bukan. Oleh karenanya, disadari atau tidak, mau tidak mau, jilbab pun akhirnya menjadi salah satu beban pemikiran yang ikut menambah “beratnya” beban sang calon.
Begitulah perjalanan jilbab, dari panggung reliji sebagai penutup aurat, terus ke panggung bisnis fashion sebagai mode, sampai ke panggung politik sebagai senjata politik. Jilbab akhirnya menjadi sesuatu yang fenomenal.
Tetapi, sahkah memperlakukan jilbab sebagai apa yang disebut terakhir di atas ? Saya tidak mau masuk ke dalam ranah fikhiyah untuk menentukan sah satu tidak sah itu. Saya hanya ingin berkata, mulailah semuanya dengan kesadaran reliji, kesadaran yang akan mengingatkan bahwa semua yang akan dilakukan adalah untuk mencari ridha Yang Maha Kuasa. Semua dilakukan untuk dan dalam rangka menjalankan amanah-Nya yang telah memilih kita sebagai khalifah di muka bumi. Kalau toh harus berkompetsi, berkompetsilah untuk memberikan yang terbaik dalam meraih Cinta-Nya, bukan meraih yang lain dan melupakan keridhaan-Na. Inilah kecerdasan sejati, kecerdasan yang pasti akan mengantarkan kita kepada kemenangan sejati, yaitu kemenangan yang tiada kalah lagi di hari nanti. Semoga.