Rabu, 03 Juni 2009

KETIKA JILBAB “BERMAIN” POLITIK

Saya ingat, jilab mulai popular setelah revolusi Republik Islam Iran di tahun 70-an. Semula, ia adalah symbol kemuslimahan seorang perempuan. Dengan memakai jilbab, seorang perempuan dinilai sebagai perempuan suci dan terhormat, sehingga banyak laki-laki yang segan menggoda—apalagi mengganggu—perempuan berjilbab. Ketika itu, perempuan berjilbab, di mata kaum lelaki, begitu anggun dan terhormat. Ia adalah lambang kesucian dan kehormatan perempuan terhormat. Namun, lama kelamaan, Ia berubah menjadi mode. Sembarang orang memakai jilbab, sehingga perempuan-perempuan tidak terhormat pun memakainya sebagai sensasi, sebagai penarik perhatian. Akibatnya, nilai sacral yang dulu sangat melekat padanya, berangsur-angsur luntur mengikuti lunturnya akhlak orang yang memakainya.
Kemudian dari pada itu, perjalanan jilbab tidak berhenti sampai di sana. Dari sebuah pakaian penutup kepala, fungsi jilbab mulai meningkat sebagai “pemain” politik. Banyak politisi menjadikan jilbab sebagai “senjata” sosialisasi diri atau kampanye politik, mempengaruhi calon constituent. Maka, muncullah jilbab menjadi “orang” penting dalam percaturan politik (baca:praktis). Di mana-mana jilbab dicari. Di mana-mana jilbab dibeli. Dan, di mana-mana jilbab dinanti. Pokoknya, jilbab menjadi salah satu instrument yang ikut menentikan menang atau kalahnya seseorang dalam pertarungan politik.
Kini, keberadaan jilbab menjadi semakin penting lagi menjelang pemilihan presiden tanggal 8 Juli yang akan datang. Ia tidak hanya dinanti untuk diberi, tetapi diamati untuk dinilai. Apakah keluarga sang calon presiden termasuk orang yang memakai jilbab atau bukan. Oleh karenanya, disadari atau tidak, mau tidak mau, jilbab pun akhirnya menjadi salah satu beban pemikiran yang ikut menambah “beratnya” beban sang calon.
Begitulah perjalanan jilbab, dari panggung reliji sebagai penutup aurat, terus ke panggung bisnis fashion sebagai mode, sampai ke panggung politik sebagai senjata politik. Jilbab akhirnya menjadi sesuatu yang fenomenal.
Tetapi, sahkah memperlakukan jilbab sebagai apa yang disebut terakhir di atas ? Saya tidak mau masuk ke dalam ranah fikhiyah untuk menentukan sah satu tidak sah itu. Saya hanya ingin berkata, mulailah semuanya dengan kesadaran reliji, kesadaran yang akan mengingatkan bahwa semua yang akan dilakukan adalah untuk mencari ridha Yang Maha Kuasa. Semua dilakukan untuk dan dalam rangka menjalankan amanah-Nya yang telah memilih kita sebagai khalifah di muka bumi. Kalau toh harus berkompetsi, berkompetsilah untuk memberikan yang terbaik dalam meraih Cinta-Nya, bukan meraih yang lain dan melupakan keridhaan-Na. Inilah kecerdasan sejati, kecerdasan yang pasti akan mengantarkan kita kepada kemenangan sejati, yaitu kemenangan yang tiada kalah lagi di hari nanti. Semoga.

SIAPAKAH PEMENANG ?

Bangsa Indonesia baru saja mengetahui siapa-siapa saja calon anggota legislative (caleg) yang akhirnya terpilih sebagai anggota legislative di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pemilihan umum (pemilu) tanggal 9 April 2009 yang lalu, baik untuk tingkat kabupaten/kota, propinsi, nasional, dan juga di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada umumnya orang mengatakan bahwa mereka itulah pemenang, dan mereka itulah yang berhak duduk di lembaga perwakilan rakyat sebagai wakil rakyat, sebagai orang-orang terhormat. Tentu saja kita mengucapkan “selamat” untuk mereka, sebuah ucapan yang sesungguhnya membebani mereka untuk masa lima tahun ke depan.

Ya. Mereka disebut “pemenang,” memenangkan sebuah “pertarungan sengit” yang melibat semua potensi yang di miliki: tenaga; waktu; dana; dan bahkan mungkin juga harga diri. Begitu beratnya perjuangan itu, wajar saja, sebagai manusia, mereka merasa senang, lega, gembira, atau mungkin saja “lupa diri” sesaat. Tetapi, merekakah pemenang yang sesungguhnya ?

Inilah pertanyaan yang perlu disadari oleh siapa saja dalam kehidupan ini, terutama siapa saja yang merasa menang dalam perjuangan apapun bentuknya di bumi ini. Karena, bila direnung secara sugguh-sungguh, pemenang adalah orang yang memenangkan sebuah “pertarungan,” mereka mendapat hadiah untuk itu, dan—yang terpenting sekali—mereka bahagia tanpa ada derita setelah itu. Lalu, menangkah namanya mereka yang lolos “melaju” ke kursi DPR seperti disebut di atas ? Saya fikir belum. Karena, kemenangan mereka bukan kemenangan yang sesungguhnya. Kemenangan mereka adalah kemenangan dalam meraih kesempatan untuk bertarung lebih lama lagi. Itu adalah kemenangan semu. Itu adalah kemenangan sementara. Bila yang kalah berhenti di saat kalah, sementara yang menang harus memasuki pertarungan baru untuk mempertaruhkan integritras dirinya dalam memperjuangkan amanah rakyat yang ia raih di pemilu itu. Perjuangan mereka semakin bertambah panjang, sehingga pengorbanan yang harus diberikan juga semakin banyak lagi. Mereka boleh saja menang dalam meraih suara terbanyak di pemilu yang lalu, tetapi belum tentu bisa memang dalam memperjuangankan nasib rakyat di lembaga perwakilan nanti, sehingga kalah dalam meraih simpati rakyat di masa datang. Dan, bila yang terjadi adalah yang disebut terakhir, maka mereka adalah orang yang kalah.

Lalu, siapakah pemenang yang sesungguhnya itu ?

Pemenang yang sesungguhnya adalah yang menang di ujung perjalanan hidupnya. Kemenangan itu adalah kemenangan di akhir hayat, husnul khatimah di saat menghembuskan nafas terakhir, dan jannatul firdaus saat memasuki keabadian di alam baqa. Inilah kemenangan sesungguhnya, kemenangan yang tidak ada kekalahan lagi setelah itu. Inilah agaknya yang diingatkan oleh Nabi dalam sebuah ucapan beliau yang didengar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Nabi berkata “ada sekelompok orang dari umatku yang teguh menegakkan kebenaran, tidak merasa berbahaya dengan tantangan dan hinaan, sampai datang saat panggilan Allah sementara mereka berada dalam posisi menang di atas orang lain.”(HR.Muslim).

Minggu, 24 Mei 2009

Kepemimpinan Ayam

Menengok kasak kusuk para elit partai menjelang pemilihan presiden tanggal 9 uli 2009 yang akan datang, dan menengok pula prilaku mereka dalam menarik simpati calon pemilih nanti, saya teringat kata-kata orang bijak, “alam terkembang menjadi guru.” Saya teringat juga salah satu ayat dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa tidak ada yang sia-sia dari semua ciptaan Allah. Semua ada maksudnya, semua ada tujuannya, dan semua itu pula adalah untuk kepentingan manusia yang Ia cipta sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Untuk itu manusia dituntut untuk memikirkan dan merenunginya, lalu mengambil pelajaran dari semua yang diciptakan Sang Khalik tersebut.
Diantara ciptaan Allah yang agaknya relevan dijadikan pelajaran dalam konteks mencari pemimpin nasional yang kini sedang hangat-hagngat dibicarakana adalah ayam, baik jantan atau betina. Agaknya, makhluk Allah yang satu ini sangat menarik dijadikan kajian dalam hal kepemimpinan, baik untuk tingkat regional maupun nasional. Kajian ini dianggap representative, karena ayam sangat dekat dengan kehidupan manusia, bukan hanya sebagai salah sumber protein, tetapi juga sering dijadikan teman dalam bermain, terutama oleh anak-anak atau oleh orang-orang dewasa yang suka bermain seperti anak-anak. Sebagai salah satu sumber protein. kepemimpinan ayam menarik untuk dikaji, karena melalui protein dari ayam yang masuk ke dalam tubuh manusia, maka—banayk atau sedikit—sifat manusia juga dipengaruhi oleh sifat-sifat ayam, termasuk sifatnya dalam hal kepemimpinan.
Watak dan kepemimpinan ayam jantan, misalnya, berbeda dari watak dan kepemimpinan ayam betina. Ayam jantan punya sifat yang konsisten bangun dan berkokok di subuh hari. Ia konsisten menyeru orang untuk selalu bangun di pagi hari, dan berbuat baik mulai sejak dari bangun itu. Ia terus menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh, walau hujan dan badai, walau petir dan halilintar sambar menyambar. Ia ajak orang bangun, dengan cara bangun terlebih dahulu. Ia member controh untuk hal yang satu itu. Namun, si ayam jantan punya sifat buruk yang juga tidak bisa lepas dari dirinya. Ia adalah pemimpin yang suka membanggakan diri, gila popularitas, berkokok kemana pergi. Ia tidak mau disaingi. Kemana pergi mencari lawan, dan tidak punya tanggungjawsab terhadap anak keturunannya.
Jadi kalau ada pemimpin yang konsisten berbuat baik, tapi berhati sombong, gila popularitas, tidak mau dinasehati, tidak mau disaingi, suka mencari lawan, maka ia baru sampai setaraf pemimpinan ayam jantan.
Lain halnya dengan ayam betina. Ia punya tipe seorang pemimpin yang sangat bertanggungjawab terhadap rakyat (anak-anak)nya. Bila dapat makanan, ia tidak akan makan makanan itu sebelum anaknya makan terlebih dahulu. Ia baru makan setelah anaknya kenyang terlebih dahulu. Ia adalah pemimpin berani yang selalu berada di depan bila anak (rakyat)nya dihadang bahaya. Anjingpun akan diserangnya, bila si anjing mengancam keselamatan anak (rakyat)nya. Bila malam menjalang, ia tidak akan masuk kandang, sebelum seluruh anaknya masuk kandang. Hanya, sayangnya, ayam betina adalah pemimpin yang hidupnya penuh dengan riya. Bertelur satu ribut se kampung. Setiap kebaikan yang dilakukan selalu disebut-sebut dan dipamerkan kepada orang banyak. Se akan di dunia ini hanya dia yang berbuat baik. Maka, bila ada pemimpiun yang suka melindungi, tapi suka menyebut dan memamerkan diri dengan kebaikannya itu, berarti dia pemimpin yang baru sederajat dengan ayat betina

Senin, 18 Mei 2009

TIAP BULAN PLESIRAN

“Biasa saja ini (plesiran ini). Kita sudah empat kali seperti ini, tiap bulan plesiran.” Demikian ungkapan salah seorang anggota DPRD Riau berkumis tebal yang sedang outbond di Bangka Belitung pada tanggal 24 Februari lalu, seperti dikutip oleh harian Tribun Pekanbaru tanggal 25 Februari 2005.

Secara harfiah, outbound berasal dari out of bounds yang dalam term olah raga berarti jatuh di luar garis. Kata itu juga berarti melanggar ketentuan. Namun dalam dunia pelatihan manajemen, kata ini digunakan untuk sejenis kegiatan luar yang bertujuan melatih kebersamaan dan kekompakan kerja dengan membuat berbagai kegiatan yang sifatnya menyenangkan. Tujuannya adalah untuk membuat suasana rileks, have fun, dan menyegarkan kembali saraf otak yang sudah mulai tegang akibat mengikuti training atau pekerjaan yang melelahkan pada hari atau jam-jam sebelumnya. Jadi, out bound adalah sesuatu yang memang diperlukan untuk menyegarkan fikiran dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya di dunia kerja, termasuk kerja para legislator.

Mengingat arti dan tujuan seprti disebut di atas, out bound bukanlah aktivitas yang perlu dikritik, dipermasalahkan, apalagi dilarang. Saya pun tidak ingin bicara tentang masalah itu. Namun ketika membaca ungkapan salah seorang anggopta DPRD Riau seperti di atas, saya merasa sangat tidak enak. Sebagai rakyat, ungkapan itu betul-betul membuat hati saya luka dan sangat tersinggung. Ketika rakyat berjuang setiap hari mencari makan untuk mempertahankan hidup, para wakilnya justru pergi menghambur-hamburkan uang ratusan juta “milik rakyat” untuk plesiran. Tidak tanggung-tanggung, bukan hanya sekali, tetapi “tiap bulan.” Rakyat tidak marah, bila uang yang dihabiskan untuk apa yang mereka sebut have fun itu milik pribadi. Itu adalah hak mereka, hak azazi mereka untuk menggunakan kekayaannya sendiri. Tetapi bila yang dihabiskan itu milik negara, miliki rakyat, sementara rakyat terseot-seot pagi dan sore mencari nafkah hidup, maka itu adalah sebuah kezaliman yang tiada tara. “Uang 800 juta bukanlah jumlah yang sedikit” bisik hati saya. “Itu sama artinya dengan 200 bulan, atau lebih dari 16 tahun gaji seorang guru besar di Indonesia. Itu juga sama artinya dengan lebih dari 1200 bulan gaji seorang anggota satpam di salah satu instansi tertentu.” Fantastis, amat fantastis.

Lalu, mau diapakan lagi para wakil rakyat yang telah terlanjur melakukan semua itu ? Saya fikir tidak perlu diapa-apakan. Secara yuridis formal mereka tidak melanggar aturan, karena memang sudah dianggarkan dalam APBD untuk itu. Kita hanya ingin berkata bahwa dilihat dari perspketif keadilan, perbuatan itu mengabaikan rasa keadilan. Dilhat dari azas manfaat dan mudharat, anggaran sebanyak itu melanggar larangan Allah untuk tidak berbuat mubazir. Dilihat dari perspektif waktu dan institusi, acara itu hampir tidak ada guna, karena masa jabatan mereka sudah akan habis beberapa bulan lagi.

Lalu, kalau begitu, apa gunanya untuk masyarakat ?

Ada beberapa kegunaannya untuk masyarakat. Pertama, sebagai bahan pertimbangan, apakah orang seperti itu masih layak dipilih sebagai wakil atau tidak. Kedua, juga untuk bahan pertimbangan agar hati-hati dalam menentukan pilihan pada saat menentukan pilihan di Pemilu nanti, supaya tidak dipilih orang yang tidak ada rasa cintanya kepada rakyat, orang yang menjadikan lembaga legislative sebagai lembaga untuk mengejar kesempatan yang menguntungkan, bukan lembaga pengabdian yang memerlukan pengorbanan. Ketiga, untuk memperkuat keinginan memanjatkan doa seperti yang diajarkan Rasul, “Ya Allah, jangan engkau berikan kekuasaan kepada orang yang tidak takut kepada Engkau, dan tidak sayang kepada kami.” Amin.

TEMPAT BERLINDUNG

Hidup memang pilihan. Setiap hari kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan. Risiko adalah akibat yang akan diterima dari apapun pilihan yang diambil. Oleh karenanya, ada orang yang tidak berani menentukan pilihan, karena takut akan risiko dari pilihannya itu. Orang yang seperti ini, kata Aristoteles, adalah orang mati, walau nyawanya masih ada, tetapi harganya sudah tidak ada. Ia hidup penuh dengan ketakutan. Kemana pergi selalu gamang, cari selamat, cari tempat berlindung, walau tempat itu sesuatu yang mondial dan sangat temporal, walau untuk itu harus menabrak aturan dan nilai-nilai yang berlaku, berlawanan dengan kata hati, bisikan nurani, bisikan Tuhan yang disebut sebagai God Spot.
Ada yang bertanya, apakah salah bila yang dijadikan tempat berlindung itu sesuatu yang mondial, temporal, sesuatu yang sifatnya powerfull secara duniawiyah ?
Jawabnya tergantung kepada cara kita memandang apa yang disebut sebagai tempat “berlindung itu.” Orientasi hidup seseorang sangat menentukan untuk mengukur salah atau benarnya sikap dalam menetukan tempat berlindung tersebut. Orang yang orientasi hidupnya sesuatu yang serba iangka pendek, maka pilihan kepada hal-hal mondial dan temporal itu sebagai tempat berlindung menjadi pilihan yang tepat. Kekuasaan adalah tempat ia berlindung, dan kesenangan penguasa adalah yang ia cari. Segala sesuatu yang disukai penguasa akan menjadi kesukaannya juga, dan segala sesuatu yang ingin diperjuangkan oleh penguasa akan ia perjuangkan juga. Segala aturan dan norma yang ada bukan acuan, tetapi kepentinganlah yang menjadi objek perjuangan. Namun, mereka yang orientasi hidupnya jangka panjang dan kebaikan untuk semua, maka pilihan seperti itu menjadi sesuatu yang salah. Bagi pihak yang disebut terakhir ini, Tuhan adalah tempat dia berlindung, dan ridha Tuhan adalah yang ia cari. Aturan dan keadah-kaedah hukum yang berlaku adalah acuan hidup, walau di suatu sisi berseberangan dengan kekuasaan yang sedang berlangsung. Ketaatannya kepada penguasa bukan karena takut kepada penguasa, tetapi karena melihat ada kebenaran pada penguasa itu. Pembelaannya terhadap penguasa bukan untuk sesuatu yang mondial, tetapi untuk sesuatu yang ideal. Sebaliknya, penolakannya terhadap penguasa bukan karena benci kepada pribadi si penguasa, melainkan kepada ketidakbenaran yang melekat pada diri yang bersangkutan Di sini, kata hati (baca: nurani), adalah “wahyu”. Ia akan berjalan dengan nurani itu, walau tubuh jasadinya berkeinginan lain. Ia lebih percaya nurani (baca:bisikan Tuhan) sebagai penyelamat dan pelindung yang sesunguhnya, sehingga secara konsisten akan terus berjalan mengikuti bisikannya. Hal inilah dahulu yang diikuti oleh para pejuang bangsa dan akhirnya menyelamatkan negeri ini dari cengekeraman para penjajah yang ingin memperpanjang cengkeraman cakarnya di negeri ini.
Lalu, masihkah semua itu itu bertahan di hati nurani generasi penerus para pejuang itu ? Entahlah. Kelihatannya kita telah “dijajah” kembali seperti dahulu, karena kita tidak lagi mengikuti mereka dalam mencari peilindung. Inilah sunnatullah, inilah hukum sebab akibat. Fa’tabitu ya ulil abshar.

SYAHWAT POLITIK

Terutama pasca Reformasi 1998, politik seakan menjadi warna paling dominan di hampir setiap lini kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu dominannya, negara ini seakan telah menjadi negara politik (politische staat), mengantikan negara hukum (recht staat). Di mana-mana orang bicara politik, dan hampir semua sector yang ada di negeri ini diurus dengan pendekatan politik, walau untuk urusan pendidikan dan dakwah sekalipun. Politik telah menjadi panglima, sementara hukum bergeser menjadi pengikut, bergeser jauh dari apa yang dicitakan oleh para founding father.

Ironis, memang. Tetapi begitulah kenyataannya. Banyak orang kurang suka bicara hukum atau melakukan sesuatu dengan pendekatan hukum, karena akan berhadapan dengan banyak kendala, dan akan banyak keiinginan yang akan terhalang. Beda halnya dengan politik. Ia adalah lahan yang “menjanjikan,” bisa mendatangkan untung dengan cepat, dan bisa mewujudkan “impian” dalam sesaat. Inilah yang membuat banyak orang begitu bersyahwat dengan politik, syahwat yang diharap bisa mengantarkan mereka ke syahwat-syahwat berikutnya, seperti jabatan yang tinggi dan harta yang berlimpah. Pemilihan umum (pemilu) legislative tanggal 9 April yang baru lalu, misalnya, adalah bukti nyata betapa tingginya “syahwat politik” itu di kalangan bangsa Indonesia. 44 partai maju berebut kekuasaan, dan puluhan ribu caleg berlomba “mati-matian” meraih suara, walau harus berhutang, menjual atau menggadaikan harta kekayaan yang sudah dikumpulkan selama bertahun-tahun sebelumnya. Sungguh luar biasa tingginya syahwat mereka, tanpa peduli akibat yang akan ditanggung bila perlombaan itu gagal dimenangkan. Tidak hanya sampai di situ. Kasak-kusuk beberapa tokoh politik nasional yang kini sibuk mencari simpati dan pasangan untuk maju dalam pemilihan presiden bulan Juli nanti juga tidak kalah hebatnya dalam memperlihatkan kepada kita betapa tingginya gairah syahwat politik itu, sehingga tidak jarang membuat sebagian masyarakat geleng-geleng kepala melihatnya.

Lalu, akan menjadi baikkah bangsa ini dengan hasrat dan syahwat yang seperti itu ?

Imam Syafi’i r.a berkata bahwa kondisi seperti disebut di atas akan berpengaruh kurang baik kepada anak-anak muda. Sebagai manusia yang jiwanya sedang tumbuh dan keinginan-keinginannya sedang memuncak, para anak muda akan tergoda dan akhirnya menerjunkan diri ke dunia yang penuh dengan impian nan menggiurkan itu. Padahal, kata beliau, anak-anak muda itu akan kehilangan waktunya untuk menimba ilmu pengetahuan, sebagai bekal hidup yang tidak hanya berguna untuk mereka, tetapi juga untuk kemajuan bangsanya di masa depan.

Saya fikir, di sinilah kearifan dan kedewasaan para pemimpin diperlukan. Mereka memang berhak mengejar jabatan atau kekuasaan, tetapi mereka juga berkewajiban memberi contoh dan mewariskan nilai-nilai keilmuan kepada generasi muda dalam perjuangan meraih semua itu. Mereka tidak boleh lupa bahwa apapun yang dilakukan akan menjadi pusat perhatian para anak muda. Oleh karenanya, di sini pulalah kenegarawanan seorang calon pemimpin akan menjadi ukuran untuk dipilih atau tidak dipilih menjadi pemimpin. Pemimpin yang negarawan adalah pemimpin yang prilaku dan ucapannya selalu berusaha menjaga keutuhan bangsa. Syahwat politiknya disalurkan dengan cara yang bermartabat. Bukan pemimpin yang prilaku dan ucapannya membawa hasutan untuk memecah belah bangsanya sendiri, dan yang syahwat politiknya disalurkan dengan cara menghujat seperti orang yang sedang dilanda dendam kesumat. Pemimpin yang negawaran adalah pemimpin yang mewariskan kebersamaan dalam keragaman, bukan pemimpin yang mewariskan dendam kesumat di tengah kemajemukan.

SEANDAINYA NABI PUNYA FOTO

Hampir seluruh kota di Indonesia akhir-akhir ini kelihatan bertambah “cantik.” Bila dulu hanya ada lampu-lampu dan tanaman-tanaman hias, kini ada bendera-bendera partai warna-warni berkibaran di hampir seluruh penjuru kota. Bila dulu hanya ada satu atau dua foto atau baliho orang-orang nomor satu di daerah itu, maka kini banyak sekali foto dengan berbagai ukuran orang-orang nomor satu, nomor dua, nomor tiga atau nomor berikutnya dari partai-partai pengusung mereka sebagai calon anggota legislative (caleg) di daerah itu, atau di daerah yang lebih tinggi dari itu. Kita tidak tahu berapa banyak masing-masing mereka mencetak foto dan balihonya, atau berapa banyak dana yang telah dikeluarkan untuk itu. Yang jelas, semua itu tidak hanya mempercantik kota, tetapi menambah suasana kehidupan menjadi bergairah dan semakin sejuk karena banyak sekali yang “meniupkan” angin melalui kibaran bendera-bendera itu. Untuk itu, sebagai warga kota yang ikut keciparatan sejuk dari keibaran itu saya merasa perlu berterimakasih, dan pemerintah kotapun juga begitu, karena tidak perlu mengeluarkan dana APBD untuk membeli semua barang tersebut.

Terlepas dari apa yang disebut di atas, seorang kawan berkomentar kepada saya betapa ia ikut juga menikmati apa-apa yang saya uangkap di atas. Tapi, beda dari saya. Ia menikmatinya bukan dengan rasa[i]seperti saya menikmati, melainkan dengan perasaan geli. Saya bertanya, “kok Anda geli. Memangnya ada apa ?” Ia menjawab bahwa kegeliannya, pertama, bukan karena digelitik oleh orang-orang yang punya foto, tetapi oleh rasa keprihatinan “kok PD (percaya diri) sekali ya orang-orang itu memajangkan fotonya, sementara orang tidak tahu siapa mereka, atau apa yang telah mereka buat selama ini untuk masyarakat?” Saya jawab, “justru karena orang belum kenal itulah mereka perlu memperkenalkan diri. Bila sudah dikenal untuk apa lagi.” Ia menyanggah ucapaan saya, “tidak begitu caranya mengenalkan diri kepada masyarakat. Lakukanlah sesuatu, apapun bentuknya, yang penting masyarakan merasakan manfaatnya, maka kita akan dikenal oleh mereka. Foto atau baliho hanya sebagai konfirmasi. Karena kalau hanya foto yang didahulukan, bisa menjadi kontra produktif, masyarakat justru menjadi sinis,” katanya. “Kedua,” katanya lagi, “saya geli melihat ada caleg yang menggandeng foto tokoh-tokoh besar dan kharismatik yang sudah meninggal dunia ditempelkan bersamaan dengan fotonya, seakan menunjukkan betapa sesungguhnya mereka tidak percaya diri untuk tampil secara sendirian. Mujur saja tidak ada foto Nabi Muhammad. Seandainya foto itu ada, pasti mereka akan menempelkannya bersama foto mereka, seolah-olah mendapat restu dari kekasih Allah itu untuk maju sebagai caleg.”

Buolan dengan foto, yang justru membuat orang menjadi sinis, mereka telah berbuat apa.” Kegelian yang kedua adalah, ternyata mereka tidak bercaya diri. Buktinya, mereka terpaksa mengikutkan fotio-foto orang terkenal mendanginya, sehingga orang menilai “ia adalah orang yang punya kepribadian seperti tokoh yang memang telah dikagumi oleh masyarakat tersebut.