Selasa, 28 April 2009

“PERCERAIAN” POLITIK

Beberapa minggu yang lalu, ketika belum keluar statemen “bercerai” dari salah seorang pemimpin tertinggi bangsa yang kini masih berpasangan dan bersatu di lembaga kepresidenan, banyak rakyat berharap agar Susilo Bambang Yudoyono – Jusuf Kalla (SBY-JK) bisa menjadi contoh bagi generasi berikut yang mengedepankan kepentingan bangsa dari kelompok dan golongan, sehingga tetap berpasangan melanjutkan kepemimpinan nasional untuk masa lima tahun ke depan. Harapan itu kandas setelah Rapimnas Golkar memutuskan untuk memajukan JK sebagai calon presiden pada pemilihan presiden di bulan Juli yang akan datang.

Tentu saja semua itu adalah hak yang bersangkutan, dan juga hak partai politik di mana Jk berada dan menjadi ketua umumnya. Tetapi adalah juga hak rakyat untuk kecewa dengan keputusan tersebut. Harapan untuk menjadikan pasangan ini sebagai contoh buat pasangan-pasangan politik lainnya agar tidak mudah mengeluarkan kata “cerai” di kalangan pejabat tingkat bawah dalam struktur pemerintahan pun menjadi buyar. Ternyata, “pernikahan” politik tidak pernah langgeng, karena penuh dengan basa-basi dan kepura-puraan sementara. “Pernikahan” ini amat rapuh, sehingga lebih banyak siksanya dari pada sukanya. Kelihatannya, pasangan semacam ini tidak berusaha untuk menyatukan hati seletalah badan mereka disatukan, tetapi justru berupaya mencari kesempatan sendiri-sendiri untuk menaikan popularitas diri dan kelompoknya, sehingga “rumah tangga” mereka sangat sarat dengan nuansa kecurigaan.

Begitulah rupanya sejarah kebanyakan pasangan politik, baik presiden, gubernur, walikota, dan bupati. Hampir semuanya berakhir dengan “perceraian.” Cerai karena ternyata politik hanya mampu menyatukan badan mereka, tetapi tidak hati mereka. Apalah artinya badan bersatu di suatu tempat, sementara hati tetap berada di tempat yang berbeda. Sejarah pun akhir juga bicara bahwa apapun bentuknya, yang namanya politik tidak bisa menyatukan hati. Ia hanya bisa menyatukan pisik jasadi. Penyatuan jasadi adalah kepentingan dan panggilan keduniaan, sementara penyatuan hati adalah cita-cita dan keabadian. Oleh karenanya adalah sesuatu yang salah bila dunia seperti ini dibawa-bawa ke ranah lain yang bukan ranahnya kepentingan, seperti dunia dakwah dan dunia pendidikan. Dua dunia yang disebut terakhir adalah ranah idea, ranah cita-cita, dan ranah keabadian. Pendekatannya adalah cinta, sementara politik (baca: parktis) adalah curiga.

Tapi, bukankah begitu yang dinamakan politik, yang kalkulasinya lebih terarah kepada kepentingan diri atau kelompok dibanding kepentingan bersama ?

Jawabnya tidak harus selalu begitu. Idealnya, politik adalah untuk menata kehidupan bersama dalam bernegara, dan untuk kepentingan bersama dalam negara tersebut. Politik adalah sesuatu yang baik. Ia berubah menjadi jahat ketika berada di tangan orang jahat. Itulah makanya dalam ajaran Islam dikatakan bahwa imam, sang pemimpin politik, haruslah berasal dari orang yang benar-benar menganut prinsip bahwa jabatan adalah amanah yang harus dijaga dan pertanggungjawabkan, dan bukan rahmah yang boleh dinikmati sebagai sebuah pemberian dan kesempatan.

Maka, bisakah kita di bulan Juli nanti mendapatkan pemimpin seperti yang diajarkan Islam itu ? Marilah kita coba memilih dan memilah. Jejak masa lalu calon yang akan tampil menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini nanti adalah diantara cermin untuk mengukur mana yang bisa menjaga amanah, dan mana pula yang hanya sekedar mencari “berkah.” Marilah kita bersatu karena hati, bukan karena materi. Di hati ada bisikan ilahi, sementara di materi banyak bisikan syaithani.

PEMIMPIN DAN PARA PEMBISIK

Sejarah membuktikan bahwa kebanyakan pemimpin jatuh bukan karena kebodohan, tetapi karena para pembantunya. Diantara para pembantu itu adalah “pembisik”, yaitu orang-orang dekat yang sering memberikan masukan atau dimintai saran. Pada umumnya, mereka adalah orang-orang kepercayaan, sehingga tidak jarang sang pemimpin mempercayai saja apa yang mereka katakan, tanpa berupaya memikiri dan menyelidiki lebih dalam akan apa yang disampaikan oleh para pembisik itu. Begitu siginifikannya peran pembisik, tegak dan hancurnya suatu negara sangat ditentukan oleh kearifan dan kesungguhan pemimpin mendengarkan kata hatinya dalam memilih dan menerima masukan dari para pembisiknya. Mantan Presiden Soeharto adalah contoh terdekat yang dapat dijadikan pelajaran dalam kasus ini. Suara hati yang melarangnya untuk maju kembali sebagai calon presiden kali yang ketujuh pada tahun 1997, dikesampingkan oleh bisikan orang-orang tertentu yang mengatakan bahwa ia masih diinginkan rakyat sebagai presiden. Padahal dalam kenyataannya, ia sudah tidak diinginkan lagi oleh rakyat. Reformasi tahun 1998 yang menyebabkan ia menyerahkan jabatan secara terpaksa kepada Wakil Presiden, BJ.Habibie, adalah bukti nyata untuk semua itu. Ia jatuh. Ia dicaci. Ia dimaki. Bahkan, ia dihina, seakan-akan tidak pernah berjasa selama ini untuk negeri ini. 32 tahun membangun negeri, seakan tidak ada arti untuk harga dirinya. Ia jatuh karena pembisiknya, dan ia hancur juga karena para pembisiknya..
Lalu, adakah ajaran agama ( Islam ) yang mengingatkan kita tentang para “pembisik” ini ? Jawabnya, ada. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Nasa-i, dari Abi Hurairah, Nabi berkata : “Tidaklah ada seorang pemimpin, kecuali ia memiliki dua kelompok pembisik (bithanah). Satu kelompok pembisik yang senantiasa membisikinya agar berbuat baik, dan melarangnya berbuat mungkar, dan satu kelompok pembisik yang tidak henti-henti menimbulkan kemudharatan kepadanya. Seorang pemimpin akan menjadi bagian dari kelompok yang paling berpengaruh baginya di antara dua kelompok tersebut.”
Lalu, siapakah yang dimaksud dengan “pembisik” itu ?
Seperti disebut di atas, mereka adalah orang-orang dekat yang dipercaya oleh sang pemimpin. Dan, bila merujuk kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud, maka boleh saja “pembisik” itu menteri, wakil, asisten, pembantu, dan lain sebagainya. Nabi bersabda : “Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seorang pemimpin, maka Ia memberikan untuknya seorang asisten (wazir) yang jujur. Jika ia lalai, si asisten akan mengingatkannya, dan jika ia ingat, si asisten akan mendukungnya. Namun bila Allah menghendaki kebalikannya, maka Ia akan memberinya asisten yang buruk. Jika ia lalai, asisten membiarkannya, dan jika ia ingat asisten tidak mendukungnya.
Ibn Hajar al-‘Asqalani mendefinisikan “pembisik” itu dengan “orang-orang yang memiliki akses untuk bertemu seorang pemimpin di ruang khususnya, menyampaikan kepadanya informasi-informasi rahasia, lalu sang pemimpin percaya begitu saja, dan mengambil kebijakan sesuai dengan pesan yang dibisikkan itu. “
Saya fikir, apa yang dikemukan oleh hadis dan ulama terkemuka di atas sangat relevan dibicarakan dalam konteks kepemimpinan kita di negara Indonesia hari ini dan hari mendatang. Walau nasib caleg belum diketahui secara pasti, apakah mereka akan duduk sebagai anggota legisltaif, atau “terduduk” sebagai pihak yang kalah dalam “pertandingan” pemilihan umum tanggal 9 April 2009 yang lalu, namun di negeri ini ada, aka nada, selalu ada dan harus selalu ada pemimpin yang akan mengendalikan negeri ini sesuai cita-cita yang telah dipancangkan oleh para founding fathers. Kearifan seorang pemimpin dalam menentukan siapa yang akan dijadikan pembantu atau orang kepercayaannya, tidak saja akan menentukan kredibilitas dan nasib si pemimpin, tetapi bahkan akan menentukan nasib negeri ini di masa datang. Pengalaman adalah guru yang paling baik, dan guru yang baik tidak akan pernah berbohong. Namun, kelihatannya kita masih belum mau belajar kepada guru yang paling baik itu. Lalu, kapankah ?

MONYETPUN PUNYA HARGA DIRI

Dalam dialog interaktif di Radio Republik Indonesia Pekanbaru pagi Senin, 22 Desember 2008, seorang penelepon menyampaikan kekesalannya terhadap prilaku Muntazer al-Zaidi, wartawan Televisi Irak yang melempar Presiden Amerika Serikat, George W.Bush, dengan kedua sepatunya dalam suatu wawancara tanggal 14 Desember 2008 lalu. Penelepon itu menyatakan perangai wartawan Irak itu sangat memalukan dan pantas diberi hukuman berat. Ketika itu saya mengatakan bahwa sebelum memberi penilaian, sebaiknya kita mencoba menempatkan diri pada posisi sang wartawan tersebut, yang orang Irak, yang Negaranya diluluhlantakkan dan ribuan anak-anak bangsanya “dibunuh“ oleh Bush. Saya mengatakan bahwa bila kita melihat peristiwa itu melalui diri sang wartawan, maka kita akan berkata bahwa semua itu adalah sebuah spontanitas dari seorang anak bangsa Irak yang harga dirinya terkoyak-koyak karena diinjak-oleh Bush yang ketika itu ada di depan matanya. “Saya tidak tahu apa yang akan kita lakukan, bila al-Zaidi itu adalah kita.” Kalimat ini tidak saya ucapkan, tetapi hanya ada dalam hati. “Akan adakah anak-anak bangsa ini berani seperti al-Zaidi bila harga dirinya dikoyak dan diinjak bangsa lain ? Atau hanya diam seribu bahasa, karena memang sudah biasa dihina dan dicerca?”

Entahlah. Yang jelas pertanyaan itu mengingatkan saya akan sebuah peritiwa di sebuah kota Cina bagian Timur beberapa waktu lalu. Peristiwa itu terjadi ketika seorang pemain “topeng monyet” memukul salah seekor monyet asuhannya yang tidak mau disuruhnya mengendarai sepeda. Tidak terima kawannya diperlakukan seperti itu, tiga ekor monyet lain yang sama-sama pemain topeng itu segera menyerang majikannya dengan mengambil tongkat di tangan sang majikan serta mengigit leher si majikan yang kasar tersebut. Akibatnya sang majikan kalangkabut dan merasa malu dilihat banyak orang yang sedang menonton pertunjukan itu.

Dua peristiwa di atas seakan mengajar kita bahwa ternyata monyet saja punya solidaritas dan harga diri bila saudaranya dihina dan disakiti. Tetapi bagaimana dengan bangsa kita ? Masihkah ada solidaritas kebangsaan untuk saling menghargai, menghormati dan menjunjung rasa kebersamaan seperti yang dulu ditunjukkan oleh para pendahulu dan pendiri bangsa ini ?

Entahlah, saya tidak tahu pasti. Tapi bila jawabnya “ya” atau “masih”, maka pertanda harkat dan martabat bangsa ini masih ada harapan untuk naik kembali. Namun bila jawanya “ragu” atau bahkan “sudah hilang,” maka sangat beralasan untuk mengatakan bangsa ini telah lebih rendah dari monyet. Saya juga tidak tahu pasti, “apakah atas alasan ini juga banyak perusahaan kini memakai monyet sebagai ‘model’ iklannya di berbagai media ?” Bukankah itu tidak berarti kita lebih menghargai makhluk yang mirip dengan manusia itu daripada manusia sendiri ? Apakah memang benar kita kini sudah lebih rendah darinya ?

Wallahu a’lam

MAHALKAH DEMOKRASI

Tragis. Begitulah agaknya kata yang terucap oleh orang yang kaget dan prihatin atas kematian Abdul Azis Angkat, Ketua DPRD Sumatera Utara, minggu lalu. Baru sekitar tiga bulan menjadi ketua, almarhum berhadapan dengan massa demo yang bringas menuntut pembentukkan Propinsi Tapanuli (Protap), sebuah tuntutan yang kelihatannya sarat dengan muatan politik. “Reformasi telah berubah menjadi liar, dan demokrasi telah berubah menjadi democrazy, menghalalkan segala cara, kebablasan, lepas kendali, dan jauh dari nilai-nilai santun yang diajarkan oleh para pendiri bangsa ini.” Itulah kalimat lain yang meluncur secara spontan dari setiap mulut yang prihatin atas kejadian tersebut. Abdul Azis telah membayar demokrasi dengan harga amat mahal, nyawanya, tangis dan jeritan keluarganya. Ia juga seakan berkata kepada dunia bahwa bangsanya masih sakit, atau bahkan semakin sakit, dan sulit dicari obatnya. Lalu, akan terbenarlah ungkatan “demokrasi memang mahal,” tidak cukup hanya dibayar dengan uang, tetapi terkadang juga harus dengan nyawa.

Lalu, betulkah demokrasi itu mahal ? Betulkah ia juga serba menghalalkan cara agar maksud tercapai sesuai selera ?

Jawabannya, tidak. Karena ia bukan tujuan, melainkan hanya alat. Ia hanya sarana untuk mewujudkan kemashalahatan bersama. Sebagai sebuah alat, demokrasi sangat tergantung kepada orang atau niat yang menggunakannya. Hal yang disebut terakhir inilah yang akan mewarnai wajah demokrasi ini di mana ia berada. Ia akan tampil elegan bila berada di tangan orang yang berwawasan dan berjiwa kebangsaan. Namun, sebaliknya, ia akan menjadi beringas bila digunakan oleh orang-orang yang fikirannya hanya dipenuhi oleh kepentingan-kepentingan lain selain untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Konon, hal-hal seperti inilah yang bermain di belakang aksi demo di kantor DPRD Sumatera Utara minggu lalu itu, sehingga berubah menjadi pemaksaan kehendak, dan berubah menjadi anarkis ketika kehendak yang hendak dipaksakan itu terbentur pada regulasi atau orang-orang tertentu yang dianggap tidak mau mengakomodir kehendak tersebut.

Lalu, berperankah agama dalam mengarahkan semua itu ?

Seharusnya, ya. Agama adalah senjata yang sangat ampuh itu menuntun jalannya demokrasi di suatu kaum. Tetapi, bukankah mereka juga orang-orang beragama yang sangat tahu bahwa anarkisme sangat bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri ?

Di sinilah letak pentingnya isyarat yang tersirat dalam pesan Nabi bahwa agama bisa terkesampingkan bagi orang yang dalam hidupnya menomorsatukan kepentingan duniawi. Agama bagi orang-orang dengan tipe seperti disebut terakhir tidak lebih dari sekedar pelengkap keseharian dan kognitif, bukan ajaran yang harus dijadikan sebagai darah dagingnya kehidupan.

Wallahu a’lam.

HARAMKAH GOLPUT ?

Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haramnya golput (baca: tidak ikut memberikan suara pada pemilihan umum) pada tanggal 9 April 2009 yang akan datang pada beberapa bulan yang lalu, muncul protes dari berbagai kalangan yang tidak setuju dengan fatwa tersebut. Ada yang mengatakan MUI anti demokrasi, memasuki wilayah yang bukan otoritasnya, tidak bijak, dan bahkan ada yang mencurigai lembaga ulama tertinggi di Indonesia ini telah menjadi alat kelompok tertentu, termasuk alat pemerintah.
Untuk suatu negera yang sedang “sakit” seperti Indonesia, anggapan semacam itu adalah hal yang dapat dipahami. Krisis kepercayaan adalah di antara akar masalahnya, sehingga hampir-hampir tidak satu pun orang atau lembaga yang benar-benar dapat dijadikan sebagai rujukan terpercaya. Semua menjadi serba diragui, kalau tidak terlalu ekstrim untuk dikatakan “dicurigai.” Gejala ini, setuju atau tidak setuju, adalah bagian dari penyakit jiwa, suatu penyakit yang sangat berbahaya bagi sebuah bangsa yang ingin bangkit dari ketertinggalan dan keterbelakangan dari bangsa-bangsa lain. Ulama saja, yang dikatakan oleh Nabi sebagai “pewaris para Nabi” sudah dicurigai, apalagi yang lain.
Tapi, salahkah kecurigaan itu muncul ketika masyarakat melihat adanya sesuatu indikasi tertentu yang terdapat ditubuh institusi ini untuk dijadikan alasan mencurigainya ? Artinya, masyarakat tidak dapat disalahkan begitu saja, bila mereka memang menemukan indikasi itu. Ketidakpercayaan mereka bukan karena prejudice, tetapi berdasarkan bukti, sehingga masyarakat melihat lembaga ini tidak lagi seperti apa adanya di era delapan puluhan, ketika ia dipimpin oleh ulama-ulama kredibel semisal Buya Hamka dan lain sebagainya. Hal ini tentu harus pula dijadikan oleh para petinggi MUI untuk melakukan evaluasi diri, muhasabah, tanpa perlu melakukan “serangan balik” kepada orang-orang yang mencurigainya seperti disebut di atas itu. Mungkin saja masyarakat menemukan satu atau dua orang petinggi MUI yang telah keluar dari khittah keulamaannya seperti terlaku dekat dengan penguasa, berbohong kepada umat dan lain sebagainya. Penulis berpendapat hal-hal seperti ini perlu dilakukan, agar di negeri ini ada lagi orang atau lembaga yang kata-katanya didengar, fatwanya dituruti, dan prilakunya dijadikan suri tauladan. Bila tidak, maka semua persoalan yang akan dihadapi tidak akan pernah ada jalan keluar dan kesudahannya, karena memang tidak ada figur yang cukup berwibawa untuk diikuti.
Kini, terlepas dari persoalan curiga mencurigai seperti di atas, dan mengingat pemilu sudah semakin dekat, penulis berpendapat perlunya kita kembali mengkajiulang, apakah betul golput itu haram ? Kalau ya, dari aspek mana sajakah keharamannya itu ?, sehingga masyarakat pun tidak selalu berada dalam kebimbangan,
Dari perspektif ilmu hukum Islam (fikih), memberikan suara dalam pemilu termasuk perbuatan dalam lingkup mu’amalah. Fuqaha sepakat bahwa hukum asal dari perkara mu’amalah ini adalah mubah, salah satu bentuk dari hukum taklifi yang memberi keleluasaan kepada orang-orang mukallaf untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan. Di sini tidak ada paksaan dari Syari’ (Allah dan Rasul) kepada manusia untuk memilih atau tidak memilih. Jadi, ringkasnya, dilihat dari segi zat atau perbuatannya itu sendiri, hukum asal dari golput adalah mubah saja. Namun hukum ini bisa berubah ketika ia keluar dari sifat asalnya, seperti tidak ikut memilih karena ada niat menggagalkan pemilu, atau niat-niat lain yang bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Ketika masuk ke dalam ranah yang disebut terakhir, maka golput menjadi haram hukumnya. Namun keharaman di sini bukan lagi karena zatnya (haram lizatihi), tetapi karena sifatnya yang menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di masa dating (haram lighairih).
Hal paling substansial yang agaknya perlu difikirkan dari wacana kegolputan ini adalah persoalan kepemimpinan dan kelanjutan umur bangsa dan negara yang telah didirikan dengan darah dan air mata para pejuang ini. Golput tidak hanya sekedar tidak ikut memilih, tetapi bisa berakibat kepada sikap “memberikan laluan” kepada orang-orang yang “tidak pantas” tampil menjadi pemimpin. Di sini Nabi berpesan : “Para pemimpun kamu adalah para penolongmu. Oleh sebab itu, perhatikanlah siapa yang akan engkau jadikan sebagai penolongmu,” Dalam hadis lain beliau juga berpesan, “Para pemimpin kamu adalah penolong-penolongmu di hadapan Allah. Oleh sebab itu, dahulukanlah orang-orang yang terbaik diantara kamu.” (Hadis Mutawatir Makna).
Hadis di atas memiliki makna yang sangat dalam. Karena, sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai sebuah proses social (social process) pemilu adalah salah satu bentuk kompetisi. Di manapun dan kapanpun, kompetisi akan menghasilkan menang atau kalah. Kecuali itu, tidak semua orang yang ikut dalam kompetisi adalah orang-orang baik. Beragam orang dengan beragam watak dan perangai akan berlomba untuk meraih kemenangan tersebut. Dalam pada itu, manusia punya kecederungan untuk dekat atau memilih orang-orang yang dekat atau seperangi dengannya. Nabi mengingatkan bahwa orang baik akan mengikuti yang terbaik di antara mereka, sementara orang yang durhaka akan mengikuti orang yang durhaka pula. (H.dari Abbas). Dari perspektif ini saja bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila orang-orang baik tidak ikut memberikan suara dalam pemilu untuk memilih orang-orang yang baik pula sebagai pemimpin. Ketidakikutan orang-orang dengan tipe seperti disebut terakhir sudah barang tentu “memberi laluan” kepada kelompok lain yang tidak baik untuk meraih kemenangan dan akhirnya tampil sebagai pemimpin bangsa. Di sini, lagi-lagi Nabi mengingatkan bahwa “setelah masa ku, kalian akan dipimpin oleh berbagai pemimpin. Pemimpin yang baik dan cakap akan memimpin kalian dengan baik dan cakap pula, sementara pemimpin yang buruk dan jahat akan memimpin kalian dengan buruk dan jahat pula…” (H.R.Abu Hurairah)
Lalu, dimana letak haramnya golput itu ?
Seperti dikatakan di atas, keharaman golput bukan karena zatnya, tetapi karena factor lain yang akan menjadi ekses dari golput itu sendiri di kemudian hari. Karena, pada umumnya, golput adalah orang-orang baik yang merasa kecewa dengan para pemimpin masa lalu yang suka berbohong dan senantiasa mementingkan diri dan kelompoknya dibanding kepentingan rakyat. Mereka tidak ikut memilih bukan karena ada niat buruk, melainkan karena kecewa. Namun bila orang-orang baik tidak ikut memilih, maka tinggallah orang-orang tidak baik yang akan memilih orang-orang yang tidak baik pula. Itulah yang akan terpilih, dan itu pulalah yang akan jadi pemimpin. Jadi, fatwa keharaman golput tidak berarti menentang hak demokrasi, tetapi lebih bertumpu kepada upaya mencegah munculnya bahaya jangka panjang yang mungkin terjadi akibat tidak ikutnya orang-orang baik memilih yang baik, sehingga negeri dipimpin oleh orang-orang yang tidak baik. Memang, tidak ada dalil yang mengharuskan hukum ini difatwakan, sehingga mengundang kecurigaan, tetapi sebagai sebuah upaya pencegahan, fatwa itu tidak pula perlu diperdebatkan terus, sehingga dapat pula memberi peluang kepada orang-orang yang tidak suka kepada Islam untuk menghembuskan perpecahan semakin dalam di tubuh umat Islam sendiri.
Ada yang berkomentar bahwa persoalannya bukan tidak mau memilih, tetapi karena tidak terlihat ada lagi caleg yang benar-benar pantas untuk dipilih. Maka, biar saja tidak ada yang dipilih.
Komentar seperti itu tentu ada dampaknya juga. Karena bila semua tidak memilih, maka sudah barang tentu tidak ada pemimpin yang legitimej untuk memimpin negeri ini. Itu sama saja artinya hidup tanpa pemimpin. Ini bahaya. Karena tidak ada pemimpin sama artinya tidak ada yang bertanggungjawab menegakkan hukum, atau bahkan tidak ada hukum. Bukankah ini yang disebut dengan cheos ? 60 tahun berada di bawah pemimimpin yang zhalim, kata Ibn Taymiyah, lebih baik dari semalam tanpa pemimpin.
Maka, sempena pemilu tahun ini, adak baiknya kita renungi sebuah kaedah hukum Islam yang berbunyi, “bila tidak bisa didapat semuanya, jangan ditinggalkan semuanya. ma la judraku kulluh, la yutraku kulluh” Pilihlah yang lebih kurang jeleknya dari semua jelek yang ada.

ENTAH APA YANG AKAN TERJADI

Beberapa hari ini saya banyak bertanya kepada para caleg (calon anggota legistatif) tentang dana yang telah dihabiskan selama masa sosialiasi. Dari sekian banyak jawaban yang diberikan, saya berkesimpulan bahwa mereka telah menghabiskan dana antara 200 sampai 250 juta rupiah, suatu jumlah yang cukup besar untuk orang seukuran saya sebagai dosen pegawai negeri di Indonesia.
Terus terang, saya iri dengan mereka (para caleg). Karena jumlah uang sebesar itu sama artinya dengan sekitar 60 bulan gaji seorang guru besar di Indonesia. Seorang kawan yang saya ceritakan prihal kemampuan caleg tersebut berciloteh kalau ia iri karena terasa betapa “bodohnya” ia dibanding sang caleg dalam hal mencari uang. Tapi di sisi lain saya juga kagum, ternyata para caleg kita bukan manusia-manusia “kere”. Mereka adalah orang-orang yang punya kemampuan cukup tinggi secara ekonomi, sehingga muncul rasaoptimisme kalau kualitas pengabdian para wakil rakyat nanti akan lebih tinggi dibanding sebelumnya, karena tidak akan banyak menggantungkan kehidupan ekonominya dengan gaji atau pendapatan-pendapatan lain yang berasal dari APBD atau APBN. Mereka akan focus memikirkan rakyat, tanpa harus banyak menguras fikiran mencari peluang untuk mendapat uang dalam mengembalikan “modal” selama masa sosialisasi dan masa kampanye.
Tapi apakah memang begitu kenyataannya nanti ?
Inilah sebuah pertanyaan banyak pihak akhir-akhir ini. Karena, optimisme yang saya ungkap di atas tidak didukung oleh fakta masa-masa sebelumnya. Dulu, ketika para caleg hanya “menompang” dengan popularitas partai dan tidak harus mengeluarkan uang banyak untuk mensosialisasikan dirinya kepada konstituen, begitu banyak yang menyalahgunakan statusnya untuk memperkaya diri setelah duduk sebagai wakil rakyat. Apalagi setelah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan “suara terbanyak”yang memaksa mereka merogoh kantong dengan jumlah yang tidak sedikit untuk memodali usaha menuju gedung parlemen. Jangan-jangan yang terjadi bukan seperti optimisme di atas, melainkan semakin “menggila”nya iklim korupsi di kalangan “orang-orang terhornat” tersebut, sehingga harapan untuk semakin fokusnya mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat semakin jauh “panggang dari api.” Dan, kalau itu yang akhirnya terjadi, maka semakin jauh pulalah kemungkinan negeri ini akan bangkit dari sakit menahun yang kini masih dirasakan.
Lalu, bagaimana agar semua kekhawatiran itu tidak terbukti setelah selesai pemilu nanti. ? Sulit mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut. Tetapi bila komitmen pemerintah, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk tetap tegak di depan menjaga supremasi hukum, maka insya Allah, kekhawatiran di atas tidak akan terjadi. Tetapi bila pihak yang disebut terakhir mengalami “lesu darah” pula, maka tidak bisa dibayangkan, entah apa yang kan terjadi lagi di negeri ini.

CANDU POLITIK DAN CANDU IBADAH

Kaget saya membaca harian ini tanggal tiga Januari lalu yang memberitakan adanya seorang caleg (calon anggota legislatfif) yang dilaporkan istrinya ke Panwaslu karena telah melalaikan tanggungjawab kepada keluarga selama berminggu-minggu disebabkan terlalu sibuk pergi sosialisasi. “Orang ini benar-benar telah dibius candu politik. Bagaimana nanti ia akan peduli kepada rakyat, sedang kepada keluarganya saja ia tidak peduli karena asyik-ma’syuk dengan politik,” fikir saya dalam hati.

Belum lagi pertanyaan di atas terjawab, datang pula seorang ibu-ibu menceritakan abangnya yang sedang asyik-ma’syuk dengan ibadah, zikir, shalat, bermuzkarah, pergi ke sana-kemari bersama temannya berhari-hari tanpa hirau dengan anak istri yang ditinggal di rumah. “Orang ini benar-benar telah dibius oleh candu ibadah. Bagaimana ia akan peduli kepada umat, sementara kepada keluarganya saja ia tidak peduli ?’ Tanya saya lagi dalam hati.

Dua pertanyaan di atas mengajak saya merenung kembali tentang apa hakikat dari manusia, ahli politik atau ahli ibadah.?

Tidak ada jawaban lain yang lebih tepat untuk pertanyaan dia atas selain merujuk kepada firman Allah yang mengatakan bahwa Ia ciptakan manusia sebagai kahlifah di muka bumi, dengan tujuan untuk mengabdi kepadaNya. Di sini, manusia berfungsi dua, sebagai khalifah yang berarti pemimpin, dan sebagai hamba yang berarti pengabdi. Manusia adalah pemimpin yang kerjanya mengabdi, dan juga sebagai pengabdi yang juga bertugas sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin, manusia punya tanggungjawab memimpin, menuntun, dan melindungi orang yang ia pimpin. Sebagai pengabdi, ia persembahkan seluruh hidup dan juga kepemimpinnya kepada Allah, Zat tempat ia mengabdi. Artinya, apapun yang ia lakukan tidak boleh meninggalkan salah satu aspek tersebut dalam hidupnya. Keduanya harus sejalan. Tanggungjawab sebagai pemimpin di keluarga dan masyarakat harus dipersembahkan sebagai pengabdian kepada Sang khalik, dan pengabdian kepada Sang khalik adalah dengan menjalankan amanah-Nya memimpin di bumi, baik di tengah-tengah keluarga sebagai tanggungjawab paling utama, maupun terhadap masyarakat banyak sebagai tanggungjawab komunal. Hal inilah yang kurang dipahami oleh kebanyakan manusia sekarang, sehingga obsesi hidup hanya mengejar “selera” pribadi tidak mengejar “simpati” dari Yang Maha Berkuasa terhadap dirinya.

Maka, baik kepada para caleg, maupun kepada ahli ibadah, kita berharap agar jangan jadikan politik atau juga “ibadah dalam arti sempit” sebagai candu, sehingga abai dengan fungsi diri yang sebenarnya, “wakil” Allah yang bertugas melindungi orang-orang yang kita diserahi amanah untuk menjaga keselamatan diri mereka. Ridha Allah tidak akan pernah didapat bila manusia yang menjadi tanggungjawab kita tidak ridha kepada kita, walau serajin apapun kita sujud kepada-Nya.