Senin, 18 Mei 2009

SYAHWAT POLITIK

Terutama pasca Reformasi 1998, politik seakan menjadi warna paling dominan di hampir setiap lini kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu dominannya, negara ini seakan telah menjadi negara politik (politische staat), mengantikan negara hukum (recht staat). Di mana-mana orang bicara politik, dan hampir semua sector yang ada di negeri ini diurus dengan pendekatan politik, walau untuk urusan pendidikan dan dakwah sekalipun. Politik telah menjadi panglima, sementara hukum bergeser menjadi pengikut, bergeser jauh dari apa yang dicitakan oleh para founding father.

Ironis, memang. Tetapi begitulah kenyataannya. Banyak orang kurang suka bicara hukum atau melakukan sesuatu dengan pendekatan hukum, karena akan berhadapan dengan banyak kendala, dan akan banyak keiinginan yang akan terhalang. Beda halnya dengan politik. Ia adalah lahan yang “menjanjikan,” bisa mendatangkan untung dengan cepat, dan bisa mewujudkan “impian” dalam sesaat. Inilah yang membuat banyak orang begitu bersyahwat dengan politik, syahwat yang diharap bisa mengantarkan mereka ke syahwat-syahwat berikutnya, seperti jabatan yang tinggi dan harta yang berlimpah. Pemilihan umum (pemilu) legislative tanggal 9 April yang baru lalu, misalnya, adalah bukti nyata betapa tingginya “syahwat politik” itu di kalangan bangsa Indonesia. 44 partai maju berebut kekuasaan, dan puluhan ribu caleg berlomba “mati-matian” meraih suara, walau harus berhutang, menjual atau menggadaikan harta kekayaan yang sudah dikumpulkan selama bertahun-tahun sebelumnya. Sungguh luar biasa tingginya syahwat mereka, tanpa peduli akibat yang akan ditanggung bila perlombaan itu gagal dimenangkan. Tidak hanya sampai di situ. Kasak-kusuk beberapa tokoh politik nasional yang kini sibuk mencari simpati dan pasangan untuk maju dalam pemilihan presiden bulan Juli nanti juga tidak kalah hebatnya dalam memperlihatkan kepada kita betapa tingginya gairah syahwat politik itu, sehingga tidak jarang membuat sebagian masyarakat geleng-geleng kepala melihatnya.

Lalu, akan menjadi baikkah bangsa ini dengan hasrat dan syahwat yang seperti itu ?

Imam Syafi’i r.a berkata bahwa kondisi seperti disebut di atas akan berpengaruh kurang baik kepada anak-anak muda. Sebagai manusia yang jiwanya sedang tumbuh dan keinginan-keinginannya sedang memuncak, para anak muda akan tergoda dan akhirnya menerjunkan diri ke dunia yang penuh dengan impian nan menggiurkan itu. Padahal, kata beliau, anak-anak muda itu akan kehilangan waktunya untuk menimba ilmu pengetahuan, sebagai bekal hidup yang tidak hanya berguna untuk mereka, tetapi juga untuk kemajuan bangsanya di masa depan.

Saya fikir, di sinilah kearifan dan kedewasaan para pemimpin diperlukan. Mereka memang berhak mengejar jabatan atau kekuasaan, tetapi mereka juga berkewajiban memberi contoh dan mewariskan nilai-nilai keilmuan kepada generasi muda dalam perjuangan meraih semua itu. Mereka tidak boleh lupa bahwa apapun yang dilakukan akan menjadi pusat perhatian para anak muda. Oleh karenanya, di sini pulalah kenegarawanan seorang calon pemimpin akan menjadi ukuran untuk dipilih atau tidak dipilih menjadi pemimpin. Pemimpin yang negarawan adalah pemimpin yang prilaku dan ucapannya selalu berusaha menjaga keutuhan bangsa. Syahwat politiknya disalurkan dengan cara yang bermartabat. Bukan pemimpin yang prilaku dan ucapannya membawa hasutan untuk memecah belah bangsanya sendiri, dan yang syahwat politiknya disalurkan dengan cara menghujat seperti orang yang sedang dilanda dendam kesumat. Pemimpin yang negawaran adalah pemimpin yang mewariskan kebersamaan dalam keragaman, bukan pemimpin yang mewariskan dendam kesumat di tengah kemajemukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar