Senin, 18 Mei 2009

TEMPAT BERLINDUNG

Hidup memang pilihan. Setiap hari kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan. Risiko adalah akibat yang akan diterima dari apapun pilihan yang diambil. Oleh karenanya, ada orang yang tidak berani menentukan pilihan, karena takut akan risiko dari pilihannya itu. Orang yang seperti ini, kata Aristoteles, adalah orang mati, walau nyawanya masih ada, tetapi harganya sudah tidak ada. Ia hidup penuh dengan ketakutan. Kemana pergi selalu gamang, cari selamat, cari tempat berlindung, walau tempat itu sesuatu yang mondial dan sangat temporal, walau untuk itu harus menabrak aturan dan nilai-nilai yang berlaku, berlawanan dengan kata hati, bisikan nurani, bisikan Tuhan yang disebut sebagai God Spot.
Ada yang bertanya, apakah salah bila yang dijadikan tempat berlindung itu sesuatu yang mondial, temporal, sesuatu yang sifatnya powerfull secara duniawiyah ?
Jawabnya tergantung kepada cara kita memandang apa yang disebut sebagai tempat “berlindung itu.” Orientasi hidup seseorang sangat menentukan untuk mengukur salah atau benarnya sikap dalam menetukan tempat berlindung tersebut. Orang yang orientasi hidupnya sesuatu yang serba iangka pendek, maka pilihan kepada hal-hal mondial dan temporal itu sebagai tempat berlindung menjadi pilihan yang tepat. Kekuasaan adalah tempat ia berlindung, dan kesenangan penguasa adalah yang ia cari. Segala sesuatu yang disukai penguasa akan menjadi kesukaannya juga, dan segala sesuatu yang ingin diperjuangkan oleh penguasa akan ia perjuangkan juga. Segala aturan dan norma yang ada bukan acuan, tetapi kepentinganlah yang menjadi objek perjuangan. Namun, mereka yang orientasi hidupnya jangka panjang dan kebaikan untuk semua, maka pilihan seperti itu menjadi sesuatu yang salah. Bagi pihak yang disebut terakhir ini, Tuhan adalah tempat dia berlindung, dan ridha Tuhan adalah yang ia cari. Aturan dan keadah-kaedah hukum yang berlaku adalah acuan hidup, walau di suatu sisi berseberangan dengan kekuasaan yang sedang berlangsung. Ketaatannya kepada penguasa bukan karena takut kepada penguasa, tetapi karena melihat ada kebenaran pada penguasa itu. Pembelaannya terhadap penguasa bukan untuk sesuatu yang mondial, tetapi untuk sesuatu yang ideal. Sebaliknya, penolakannya terhadap penguasa bukan karena benci kepada pribadi si penguasa, melainkan kepada ketidakbenaran yang melekat pada diri yang bersangkutan Di sini, kata hati (baca: nurani), adalah “wahyu”. Ia akan berjalan dengan nurani itu, walau tubuh jasadinya berkeinginan lain. Ia lebih percaya nurani (baca:bisikan Tuhan) sebagai penyelamat dan pelindung yang sesunguhnya, sehingga secara konsisten akan terus berjalan mengikuti bisikannya. Hal inilah dahulu yang diikuti oleh para pejuang bangsa dan akhirnya menyelamatkan negeri ini dari cengekeraman para penjajah yang ingin memperpanjang cengkeraman cakarnya di negeri ini.
Lalu, masihkah semua itu itu bertahan di hati nurani generasi penerus para pejuang itu ? Entahlah. Kelihatannya kita telah “dijajah” kembali seperti dahulu, karena kita tidak lagi mengikuti mereka dalam mencari peilindung. Inilah sunnatullah, inilah hukum sebab akibat. Fa’tabitu ya ulil abshar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar