Senin, 18 Mei 2009

TIAP BULAN PLESIRAN

“Biasa saja ini (plesiran ini). Kita sudah empat kali seperti ini, tiap bulan plesiran.” Demikian ungkapan salah seorang anggota DPRD Riau berkumis tebal yang sedang outbond di Bangka Belitung pada tanggal 24 Februari lalu, seperti dikutip oleh harian Tribun Pekanbaru tanggal 25 Februari 2005.

Secara harfiah, outbound berasal dari out of bounds yang dalam term olah raga berarti jatuh di luar garis. Kata itu juga berarti melanggar ketentuan. Namun dalam dunia pelatihan manajemen, kata ini digunakan untuk sejenis kegiatan luar yang bertujuan melatih kebersamaan dan kekompakan kerja dengan membuat berbagai kegiatan yang sifatnya menyenangkan. Tujuannya adalah untuk membuat suasana rileks, have fun, dan menyegarkan kembali saraf otak yang sudah mulai tegang akibat mengikuti training atau pekerjaan yang melelahkan pada hari atau jam-jam sebelumnya. Jadi, out bound adalah sesuatu yang memang diperlukan untuk menyegarkan fikiran dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya di dunia kerja, termasuk kerja para legislator.

Mengingat arti dan tujuan seprti disebut di atas, out bound bukanlah aktivitas yang perlu dikritik, dipermasalahkan, apalagi dilarang. Saya pun tidak ingin bicara tentang masalah itu. Namun ketika membaca ungkapan salah seorang anggopta DPRD Riau seperti di atas, saya merasa sangat tidak enak. Sebagai rakyat, ungkapan itu betul-betul membuat hati saya luka dan sangat tersinggung. Ketika rakyat berjuang setiap hari mencari makan untuk mempertahankan hidup, para wakilnya justru pergi menghambur-hamburkan uang ratusan juta “milik rakyat” untuk plesiran. Tidak tanggung-tanggung, bukan hanya sekali, tetapi “tiap bulan.” Rakyat tidak marah, bila uang yang dihabiskan untuk apa yang mereka sebut have fun itu milik pribadi. Itu adalah hak mereka, hak azazi mereka untuk menggunakan kekayaannya sendiri. Tetapi bila yang dihabiskan itu milik negara, miliki rakyat, sementara rakyat terseot-seot pagi dan sore mencari nafkah hidup, maka itu adalah sebuah kezaliman yang tiada tara. “Uang 800 juta bukanlah jumlah yang sedikit” bisik hati saya. “Itu sama artinya dengan 200 bulan, atau lebih dari 16 tahun gaji seorang guru besar di Indonesia. Itu juga sama artinya dengan lebih dari 1200 bulan gaji seorang anggota satpam di salah satu instansi tertentu.” Fantastis, amat fantastis.

Lalu, mau diapakan lagi para wakil rakyat yang telah terlanjur melakukan semua itu ? Saya fikir tidak perlu diapa-apakan. Secara yuridis formal mereka tidak melanggar aturan, karena memang sudah dianggarkan dalam APBD untuk itu. Kita hanya ingin berkata bahwa dilihat dari perspketif keadilan, perbuatan itu mengabaikan rasa keadilan. Dilhat dari azas manfaat dan mudharat, anggaran sebanyak itu melanggar larangan Allah untuk tidak berbuat mubazir. Dilihat dari perspektif waktu dan institusi, acara itu hampir tidak ada guna, karena masa jabatan mereka sudah akan habis beberapa bulan lagi.

Lalu, kalau begitu, apa gunanya untuk masyarakat ?

Ada beberapa kegunaannya untuk masyarakat. Pertama, sebagai bahan pertimbangan, apakah orang seperti itu masih layak dipilih sebagai wakil atau tidak. Kedua, juga untuk bahan pertimbangan agar hati-hati dalam menentukan pilihan pada saat menentukan pilihan di Pemilu nanti, supaya tidak dipilih orang yang tidak ada rasa cintanya kepada rakyat, orang yang menjadikan lembaga legislative sebagai lembaga untuk mengejar kesempatan yang menguntungkan, bukan lembaga pengabdian yang memerlukan pengorbanan. Ketiga, untuk memperkuat keinginan memanjatkan doa seperti yang diajarkan Rasul, “Ya Allah, jangan engkau berikan kekuasaan kepada orang yang tidak takut kepada Engkau, dan tidak sayang kepada kami.” Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar