Senin, 18 Mei 2009

SEANDAINYA NABI PUNYA FOTO

Hampir seluruh kota di Indonesia akhir-akhir ini kelihatan bertambah “cantik.” Bila dulu hanya ada lampu-lampu dan tanaman-tanaman hias, kini ada bendera-bendera partai warna-warni berkibaran di hampir seluruh penjuru kota. Bila dulu hanya ada satu atau dua foto atau baliho orang-orang nomor satu di daerah itu, maka kini banyak sekali foto dengan berbagai ukuran orang-orang nomor satu, nomor dua, nomor tiga atau nomor berikutnya dari partai-partai pengusung mereka sebagai calon anggota legislative (caleg) di daerah itu, atau di daerah yang lebih tinggi dari itu. Kita tidak tahu berapa banyak masing-masing mereka mencetak foto dan balihonya, atau berapa banyak dana yang telah dikeluarkan untuk itu. Yang jelas, semua itu tidak hanya mempercantik kota, tetapi menambah suasana kehidupan menjadi bergairah dan semakin sejuk karena banyak sekali yang “meniupkan” angin melalui kibaran bendera-bendera itu. Untuk itu, sebagai warga kota yang ikut keciparatan sejuk dari keibaran itu saya merasa perlu berterimakasih, dan pemerintah kotapun juga begitu, karena tidak perlu mengeluarkan dana APBD untuk membeli semua barang tersebut.

Terlepas dari apa yang disebut di atas, seorang kawan berkomentar kepada saya betapa ia ikut juga menikmati apa-apa yang saya uangkap di atas. Tapi, beda dari saya. Ia menikmatinya bukan dengan rasa[i]seperti saya menikmati, melainkan dengan perasaan geli. Saya bertanya, “kok Anda geli. Memangnya ada apa ?” Ia menjawab bahwa kegeliannya, pertama, bukan karena digelitik oleh orang-orang yang punya foto, tetapi oleh rasa keprihatinan “kok PD (percaya diri) sekali ya orang-orang itu memajangkan fotonya, sementara orang tidak tahu siapa mereka, atau apa yang telah mereka buat selama ini untuk masyarakat?” Saya jawab, “justru karena orang belum kenal itulah mereka perlu memperkenalkan diri. Bila sudah dikenal untuk apa lagi.” Ia menyanggah ucapaan saya, “tidak begitu caranya mengenalkan diri kepada masyarakat. Lakukanlah sesuatu, apapun bentuknya, yang penting masyarakan merasakan manfaatnya, maka kita akan dikenal oleh mereka. Foto atau baliho hanya sebagai konfirmasi. Karena kalau hanya foto yang didahulukan, bisa menjadi kontra produktif, masyarakat justru menjadi sinis,” katanya. “Kedua,” katanya lagi, “saya geli melihat ada caleg yang menggandeng foto tokoh-tokoh besar dan kharismatik yang sudah meninggal dunia ditempelkan bersamaan dengan fotonya, seakan menunjukkan betapa sesungguhnya mereka tidak percaya diri untuk tampil secara sendirian. Mujur saja tidak ada foto Nabi Muhammad. Seandainya foto itu ada, pasti mereka akan menempelkannya bersama foto mereka, seolah-olah mendapat restu dari kekasih Allah itu untuk maju sebagai caleg.”

Buolan dengan foto, yang justru membuat orang menjadi sinis, mereka telah berbuat apa.” Kegelian yang kedua adalah, ternyata mereka tidak bercaya diri. Buktinya, mereka terpaksa mengikutkan fotio-foto orang terkenal mendanginya, sehingga orang menilai “ia adalah orang yang punya kepribadian seperti tokoh yang memang telah dikagumi oleh masyarakat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar