Selasa, 28 April 2009

MONYETPUN PUNYA HARGA DIRI

Dalam dialog interaktif di Radio Republik Indonesia Pekanbaru pagi Senin, 22 Desember 2008, seorang penelepon menyampaikan kekesalannya terhadap prilaku Muntazer al-Zaidi, wartawan Televisi Irak yang melempar Presiden Amerika Serikat, George W.Bush, dengan kedua sepatunya dalam suatu wawancara tanggal 14 Desember 2008 lalu. Penelepon itu menyatakan perangai wartawan Irak itu sangat memalukan dan pantas diberi hukuman berat. Ketika itu saya mengatakan bahwa sebelum memberi penilaian, sebaiknya kita mencoba menempatkan diri pada posisi sang wartawan tersebut, yang orang Irak, yang Negaranya diluluhlantakkan dan ribuan anak-anak bangsanya “dibunuh“ oleh Bush. Saya mengatakan bahwa bila kita melihat peristiwa itu melalui diri sang wartawan, maka kita akan berkata bahwa semua itu adalah sebuah spontanitas dari seorang anak bangsa Irak yang harga dirinya terkoyak-koyak karena diinjak-oleh Bush yang ketika itu ada di depan matanya. “Saya tidak tahu apa yang akan kita lakukan, bila al-Zaidi itu adalah kita.” Kalimat ini tidak saya ucapkan, tetapi hanya ada dalam hati. “Akan adakah anak-anak bangsa ini berani seperti al-Zaidi bila harga dirinya dikoyak dan diinjak bangsa lain ? Atau hanya diam seribu bahasa, karena memang sudah biasa dihina dan dicerca?”

Entahlah. Yang jelas pertanyaan itu mengingatkan saya akan sebuah peritiwa di sebuah kota Cina bagian Timur beberapa waktu lalu. Peristiwa itu terjadi ketika seorang pemain “topeng monyet” memukul salah seekor monyet asuhannya yang tidak mau disuruhnya mengendarai sepeda. Tidak terima kawannya diperlakukan seperti itu, tiga ekor monyet lain yang sama-sama pemain topeng itu segera menyerang majikannya dengan mengambil tongkat di tangan sang majikan serta mengigit leher si majikan yang kasar tersebut. Akibatnya sang majikan kalangkabut dan merasa malu dilihat banyak orang yang sedang menonton pertunjukan itu.

Dua peristiwa di atas seakan mengajar kita bahwa ternyata monyet saja punya solidaritas dan harga diri bila saudaranya dihina dan disakiti. Tetapi bagaimana dengan bangsa kita ? Masihkah ada solidaritas kebangsaan untuk saling menghargai, menghormati dan menjunjung rasa kebersamaan seperti yang dulu ditunjukkan oleh para pendahulu dan pendiri bangsa ini ?

Entahlah, saya tidak tahu pasti. Tapi bila jawabnya “ya” atau “masih”, maka pertanda harkat dan martabat bangsa ini masih ada harapan untuk naik kembali. Namun bila jawanya “ragu” atau bahkan “sudah hilang,” maka sangat beralasan untuk mengatakan bangsa ini telah lebih rendah dari monyet. Saya juga tidak tahu pasti, “apakah atas alasan ini juga banyak perusahaan kini memakai monyet sebagai ‘model’ iklannya di berbagai media ?” Bukankah itu tidak berarti kita lebih menghargai makhluk yang mirip dengan manusia itu daripada manusia sendiri ? Apakah memang benar kita kini sudah lebih rendah darinya ?

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar