Kaget saya membaca harian ini tanggal tiga Januari lalu yang memberitakan adanya seorang caleg (calon anggota legislatfif) yang dilaporkan istrinya ke Panwaslu karena telah melalaikan tanggungjawab kepada keluarga selama berminggu-minggu disebabkan terlalu sibuk pergi sosialisasi. “Orang ini benar-benar telah dibius candu politik. Bagaimana nanti ia akan peduli kepada rakyat, sedang kepada keluarganya saja ia tidak peduli karena asyik-ma’syuk dengan politik,” fikir saya dalam hati.
Belum lagi pertanyaan di atas terjawab, datang pula seorang ibu-ibu menceritakan abangnya yang sedang asyik-ma’syuk dengan ibadah, zikir, shalat, bermuzkarah, pergi ke sana-kemari bersama temannya berhari-hari tanpa hirau dengan anak istri yang ditinggal di rumah. “Orang ini benar-benar telah dibius oleh candu ibadah. Bagaimana ia akan peduli kepada umat, sementara kepada keluarganya saja ia tidak peduli ?’ Tanya saya lagi dalam hati.
Dua pertanyaan di atas mengajak saya merenung kembali tentang apa hakikat dari manusia, ahli politik atau ahli ibadah.?
Tidak ada jawaban lain yang lebih tepat untuk pertanyaan dia atas selain merujuk kepada firman Allah yang mengatakan bahwa Ia ciptakan manusia sebagai kahlifah di muka bumi, dengan tujuan untuk mengabdi kepadaNya. Di sini, manusia berfungsi dua, sebagai khalifah yang berarti pemimpin, dan sebagai hamba yang berarti pengabdi. Manusia adalah pemimpin yang kerjanya mengabdi, dan juga sebagai pengabdi yang juga bertugas sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin, manusia punya tanggungjawab memimpin, menuntun, dan melindungi orang yang ia pimpin. Sebagai pengabdi, ia persembahkan seluruh hidup dan juga kepemimpinnya kepada Allah, Zat tempat ia mengabdi. Artinya, apapun yang ia lakukan tidak boleh meninggalkan salah satu aspek tersebut dalam hidupnya. Keduanya harus sejalan. Tanggungjawab sebagai pemimpin di keluarga dan masyarakat harus dipersembahkan sebagai pengabdian kepada Sang khalik, dan pengabdian kepada Sang khalik adalah dengan menjalankan amanah-Nya memimpin di bumi, baik di tengah-tengah keluarga sebagai tanggungjawab paling utama, maupun terhadap masyarakat banyak sebagai tanggungjawab komunal. Hal inilah yang kurang dipahami oleh kebanyakan manusia sekarang, sehingga obsesi hidup hanya mengejar “selera” pribadi tidak mengejar “simpati” dari Yang Maha Berkuasa terhadap dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar