Selasa, 28 April 2009

ENTAH APA YANG AKAN TERJADI

Beberapa hari ini saya banyak bertanya kepada para caleg (calon anggota legistatif) tentang dana yang telah dihabiskan selama masa sosialiasi. Dari sekian banyak jawaban yang diberikan, saya berkesimpulan bahwa mereka telah menghabiskan dana antara 200 sampai 250 juta rupiah, suatu jumlah yang cukup besar untuk orang seukuran saya sebagai dosen pegawai negeri di Indonesia.
Terus terang, saya iri dengan mereka (para caleg). Karena jumlah uang sebesar itu sama artinya dengan sekitar 60 bulan gaji seorang guru besar di Indonesia. Seorang kawan yang saya ceritakan prihal kemampuan caleg tersebut berciloteh kalau ia iri karena terasa betapa “bodohnya” ia dibanding sang caleg dalam hal mencari uang. Tapi di sisi lain saya juga kagum, ternyata para caleg kita bukan manusia-manusia “kere”. Mereka adalah orang-orang yang punya kemampuan cukup tinggi secara ekonomi, sehingga muncul rasaoptimisme kalau kualitas pengabdian para wakil rakyat nanti akan lebih tinggi dibanding sebelumnya, karena tidak akan banyak menggantungkan kehidupan ekonominya dengan gaji atau pendapatan-pendapatan lain yang berasal dari APBD atau APBN. Mereka akan focus memikirkan rakyat, tanpa harus banyak menguras fikiran mencari peluang untuk mendapat uang dalam mengembalikan “modal” selama masa sosialisasi dan masa kampanye.
Tapi apakah memang begitu kenyataannya nanti ?
Inilah sebuah pertanyaan banyak pihak akhir-akhir ini. Karena, optimisme yang saya ungkap di atas tidak didukung oleh fakta masa-masa sebelumnya. Dulu, ketika para caleg hanya “menompang” dengan popularitas partai dan tidak harus mengeluarkan uang banyak untuk mensosialisasikan dirinya kepada konstituen, begitu banyak yang menyalahgunakan statusnya untuk memperkaya diri setelah duduk sebagai wakil rakyat. Apalagi setelah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan “suara terbanyak”yang memaksa mereka merogoh kantong dengan jumlah yang tidak sedikit untuk memodali usaha menuju gedung parlemen. Jangan-jangan yang terjadi bukan seperti optimisme di atas, melainkan semakin “menggila”nya iklim korupsi di kalangan “orang-orang terhornat” tersebut, sehingga harapan untuk semakin fokusnya mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat semakin jauh “panggang dari api.” Dan, kalau itu yang akhirnya terjadi, maka semakin jauh pulalah kemungkinan negeri ini akan bangkit dari sakit menahun yang kini masih dirasakan.
Lalu, bagaimana agar semua kekhawatiran itu tidak terbukti setelah selesai pemilu nanti. ? Sulit mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut. Tetapi bila komitmen pemerintah, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk tetap tegak di depan menjaga supremasi hukum, maka insya Allah, kekhawatiran di atas tidak akan terjadi. Tetapi bila pihak yang disebut terakhir mengalami “lesu darah” pula, maka tidak bisa dibayangkan, entah apa yang kan terjadi lagi di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar