Selasa, 28 April 2009

MAHALKAH DEMOKRASI

Tragis. Begitulah agaknya kata yang terucap oleh orang yang kaget dan prihatin atas kematian Abdul Azis Angkat, Ketua DPRD Sumatera Utara, minggu lalu. Baru sekitar tiga bulan menjadi ketua, almarhum berhadapan dengan massa demo yang bringas menuntut pembentukkan Propinsi Tapanuli (Protap), sebuah tuntutan yang kelihatannya sarat dengan muatan politik. “Reformasi telah berubah menjadi liar, dan demokrasi telah berubah menjadi democrazy, menghalalkan segala cara, kebablasan, lepas kendali, dan jauh dari nilai-nilai santun yang diajarkan oleh para pendiri bangsa ini.” Itulah kalimat lain yang meluncur secara spontan dari setiap mulut yang prihatin atas kejadian tersebut. Abdul Azis telah membayar demokrasi dengan harga amat mahal, nyawanya, tangis dan jeritan keluarganya. Ia juga seakan berkata kepada dunia bahwa bangsanya masih sakit, atau bahkan semakin sakit, dan sulit dicari obatnya. Lalu, akan terbenarlah ungkatan “demokrasi memang mahal,” tidak cukup hanya dibayar dengan uang, tetapi terkadang juga harus dengan nyawa.

Lalu, betulkah demokrasi itu mahal ? Betulkah ia juga serba menghalalkan cara agar maksud tercapai sesuai selera ?

Jawabannya, tidak. Karena ia bukan tujuan, melainkan hanya alat. Ia hanya sarana untuk mewujudkan kemashalahatan bersama. Sebagai sebuah alat, demokrasi sangat tergantung kepada orang atau niat yang menggunakannya. Hal yang disebut terakhir inilah yang akan mewarnai wajah demokrasi ini di mana ia berada. Ia akan tampil elegan bila berada di tangan orang yang berwawasan dan berjiwa kebangsaan. Namun, sebaliknya, ia akan menjadi beringas bila digunakan oleh orang-orang yang fikirannya hanya dipenuhi oleh kepentingan-kepentingan lain selain untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Konon, hal-hal seperti inilah yang bermain di belakang aksi demo di kantor DPRD Sumatera Utara minggu lalu itu, sehingga berubah menjadi pemaksaan kehendak, dan berubah menjadi anarkis ketika kehendak yang hendak dipaksakan itu terbentur pada regulasi atau orang-orang tertentu yang dianggap tidak mau mengakomodir kehendak tersebut.

Lalu, berperankah agama dalam mengarahkan semua itu ?

Seharusnya, ya. Agama adalah senjata yang sangat ampuh itu menuntun jalannya demokrasi di suatu kaum. Tetapi, bukankah mereka juga orang-orang beragama yang sangat tahu bahwa anarkisme sangat bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri ?

Di sinilah letak pentingnya isyarat yang tersirat dalam pesan Nabi bahwa agama bisa terkesampingkan bagi orang yang dalam hidupnya menomorsatukan kepentingan duniawi. Agama bagi orang-orang dengan tipe seperti disebut terakhir tidak lebih dari sekedar pelengkap keseharian dan kognitif, bukan ajaran yang harus dijadikan sebagai darah dagingnya kehidupan.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar