Jumat, 17 April 2009

DA’I DAN PROBLEMA WAWASANNYA

Prihatin melihat perkembangan kehidupan social masyarakat yang akhir-akhir ini cenderung semakin tidak menguntungkan, salah seorang da’i kondang di Jakarta pernah bertanya kepada dirinya sendiri,”apa hasil dakwahmu selama ini ?”

Pertanyaan serupa tentu hendaknya juga menjadi pertanyaan mereka semua yang dahulu atau kini berstatus sebagai public figure, apakah mereka berberprofesi sebagai pejabat pemerintah, sebagai ulama, tokoh politik, atau juga pernah menjadi penatar P4 yang handal di masa Orde Baru. Karena, fakta terkini menunjukkan bahwa upaya mereka m,dewasa rakyat dalam bermasyarakat dan bernegara hampir-hampur tidak membuanhkan hasil, bila tidak mau dikatakan dikatakan telah gagal.

Dulu, ketika masih berkuasa, Presiden Soeharto pernah mengajukan permintaan kepada para cendekiawanan di ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) agar membantu pemerintah mendewasakan masyarakat dalam berpolitik. Permintaan itu muncul ketika maraknya aksi kekerasan dan kebringasan social di sela-sela kegiatan kampanye pemilihan umum tahun 1997. Sekalipun permintaan tersebut menimbulkan sinisme politik bagi yang mendengarkannya (sebab, itu berarti bahwa pemerintahan Soeharto 31 tahun ketika itu tidak mampu mendewasakan—apalagi mencerdeskan—kehidupan berbangsa ), namun sebagai suatu pengakuan, walau tidak disengaja, perlu dijadikan renungan betapa masih “amburadul”nya system pendidikan politik dan pembinaan sumberdaya manusia (SDM) di Indonesia, walau sudah merdeka lebih dari 60 tahun.

Agaknya, benar bila ada yang berpendapat bahwa kinilah Indonesia baru merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Semuanya harus dimuali dari awal, setelah semua system kemasyarakatn mengalami kerusakan yang sangat parah. Begitu parahnya, perbaikan yang harsu dilakukan, tudak bisa sekedar reformasi, melainkan harus reformasi total, “bongkar mesin.”

Da’i sebagai Sub Sistem

Sebagai sebuah system, negara tidak hanya terdiri atas adanya daerah, rakyat, dan pemerintah, tetapi juga ada aturan perundang-undangan dan seperangkat pranata social lainnya. Kemajuan suatu negara pada prinsipnya tidaklah ditentukan oleh luas atau sempitnya negara itu, melainkan oleh masyarakat dan negara itu sendiri. Kualitas masyarakatnyalah yang membuat suatu neghara maju atau mundur, makmur atau hancur, dan kualitas itu sendiri itu pula sangat tergantung kepada pemimpin yang ada dalam negara bersangkutan. Pemimpin ini tidak hanya sekedar sebagai administrator, tetapi terlebih lagi sebagai panutan moral. Di sini, da’i atau mubaligh secara umum, adalah bagian dari sub system kepemimpinan itu. Sebagai penyambung “lidah” Nabi menyampaikan risalah, da’i sering menjadi referensi dalam menata tingkah laku social dan politik masyarakat.

Wawasan Da’I

Sebagai sebuah rujukan, sosok soorang da’I di tengah umatnya tentu tidak diukur dari perfomanc fisiknya, melainkan wawasan pengetahuan dan wawasan moralnya. Keluasan pengetahuan seorang da’I akan menjadi kolom ilmu yang tidak pernah kering bila umatnya memerlukan kendali menghadapi realita tantangan dan godaan hidup. Perpaduan kedua unsur ini bukanlah hal yang mudah. Ia memerlukan proses, dan proses awal unntuk sampai kea rah itu adalah pembentukan wawasan bagi da’i itu sendiri.

Secara umum, wawasan da’i dapat diartikan sebagai cara da’I memandang. Ada dua hal yang menjadi pandangan focus para da’i: pertama, cara ia memandang agama (islam) yang kemudian ia interpretasikan kepada jama’ahnya. Kedua, cara ia memandang persoalan-persoalan kenmasyarakatan yang juga akan ia interprestasi untuk dicari solusi-solusi keagamaannya. Luas atau sempitnya wawasan seorang da’I terhadap dua persoalan itu akan sangat berdampak pada luas atau sempitnya pula wawasan masyarakat.

Cara pandang yang pertama dari penguasaan soprang da’I terhadap ajaran tektual dan ajaran historical Islam.Semakin baik dan semakin memadai penguasaan pengetahuan di bidang ini, semakin luslah wawasan keagamaannya. Begitu sebaliknya, semakin sedikit pengetahuannya di bidang it, semakin sempit pulalah wawasannya. Hal serupa juga akan terjadi pada pola pandang yang kedua. Kedewasaan seeorang tergantung pada wawasan yang bersangkutan. Semakin luasa wawasannya, semakin tinggi kedewasaanya, dan semakin sempit wawasananay, maka semakin rendahlah kkedewasaanya. Dan, kedewasaan yang rendah biasanya ditandai dengan tingginya tingkat emosionalitas.

Maka, ketika kita melihat maraknya kebringasan social, ketika tu pula kita melihat maraknya orang mengumbar emosi. Dan pada saat bersama itu pula, lahir sebuah kesimpulan bahwa bangsa kita masih belum dewasa.

Untuk masyarakat yang beragama seperti Indonesia, ketidakdewasaan masyarakat itu agaknya mungkin menjadi salah satu indikasi bahwa para da’I belum berhasil memainkan perannaya sebagai pelanjut risalah Nabi, baik untuk masyarakat umum, maupun terhadap para pengambil keputusan di negeri ini.

Fenomena ini mengajak kita perlu melihat kembali peran da’I dalam perjalanan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia, palaing tidak untuk kurun waktu sepuluh atau duapuluh tahun terakhir.

Tiga Macam Da’i

Secara harfiah, da’I berarti penyeru atau tukang seru. Namun dalam termonologi keagamaan, ia berarti sebagai seorang yang menyebarkan pesan-pesan keagamaa ketengah-tengah masyarakat.

Bila dilihat, praktek-praktek kedai’ian di Indonesia akhir-akhir ini, saya membagi da’I itu kedalam tiga bagian; Da’I sebagai orator. Da’I sebagai Mubaligh, dan da’I sebagai ulama atau pemimpin.

Da’i orator, adalah yang lebih berorentasi “pasar” . Ia lebih-lebih memntingkan penampilan, mengikuti selera pasa. Hampir tidak ada visi ataupun misi. Bahkan, tidak sedikit yang disadari atau tidak disadari berubah menjadi “artis” penghibur dengan banyolan-banyolan menggelikan, atau bahkan juga tampil menjadai penebar isu agitatoris penuh nuansa emosional. Da’I seperti ini tidak akan membantu mencerdaskan kehidupan umat, karena ia memeng tidak membuka wawasan jamaahnya menyampaikan ide-ide alternatifnya.

Da’i mubaligh, adalah da’i yang bertugas hanya menyampaikan. Selera pasar memang bukan targetnya, namun membuka wawasan jama’ahnya untuk bisa berpikir lebih cerdas juga bukan menjadi pikiran inti dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak terlalau peduli, apakah jama’ahnaya menagkap pesan-pesan yang ia sampaikan atau tidak. Yang penting ia menjalankan tugas. Dibanding kategori pertama, da’i seperti ini juga kurang banyak memberi arti dalam mencerdaskan kehidupan bermasyarakat, namun ia juga tidak akan menjadi jama’ahnya menjadi orang yang senpit batau bahakan emosional dalam menyikapi perkembangan masyarakat.

Da’i ulama atau pemimpin, adalah da’i pewaris Nabi. Dalam melaksanakan tugasnya, da’i seperti ini berusaha tampil sebagai seorang pemimpin yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga berusaha bagaimana agar semua yang ia sampaikan memberikan pengetahuan- pengetahan tertentu yang akan merangsang jama’ahnya membuka wawasan. Ketika bicara ilmu, ia tidak memojokkan ilmu orang lain, kalau toh menyebutkan pendapat orang lain, bukan untuk merendahkan, tetapi sebagai perbandingan. Bila ia bicara mengenai hal-hal ynag menyentuh aspek-aspek perasaan, ia memelihara diri agar tidak bertindak sebagai penghujat atau bahkan menghina dan menfitnah. Kalau toh ia mengkritik, kritikannya bernuansa akal, dan memberi alternatif jalan keluar. Ia menghindarkan diri dari sikap merasa lebih benar, lebih hebat dan memaksakan kehendak. Ia adalah da’i yang lapang dada.

Lalu, bagaimana kita bisa tampil sebagai da’i tipe yang ketiga ini. Jawabannya, seperti disinggung di atas, adalah penguasaaan yang baik terhadap agama Islam, dan pengalaman yang cukup dalam bermasyarakat.

Untuk sampai kepada penguasaan seperti yang disebutkan pertama, saya berpendapat bahwa seorang da’i harus melihat Islam dalam dua sisi:Islam sebagai ajaran tekstual, dan Islam sebagai ajaran yang menyejarah.

Sebagai ajaran teks, Islam tercantum dalam al-Qur’an dan Hadis. Inilah Islam ideal, Islam sesungguhnya. Tetapi sebagai ajaran yang menyejarah, Islam telah mengalami interpretasi- interpretasi ijtihadi sejak masa sahabat sampai sekarang. Islam dalam bentuk kedua inilah yang sangat berkembang, dan kadang-kadang muncul dalam bentuk budaya, budaya Islam.

Namun perlu kita catat, Islam dalam bentuk yang terakhir disebutkan, muncul karena pemahaman ulama terhadap Islam dalam bentuk yang pertama. Pemahaman ini muncul menjadi interprestasi-interprstasi, sebagai akibat perkembangan zaman yang solusinya tidak ditemukan secara tegas dalam Islam bentuk pertama. Karena melalui upaya ijtihad, maka Islam dalam bentuk kedua muncul dalam berbagai “warna” (ikhtilaf). Disini, seorang da’i dituntut agar melengkapi pengtahuannya tentang sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam Islam. Pengetahuan seorang da’i tentang masalah ini, menurut pendapat saya harus dijadikan prioritas utama untuk menjadi seorang da’i ulama. Karena, toleransi terhadap perbedaan pendapat dalam Islam tidak akan terjadi, bila seorang da’i belum memahami secara baik sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut. Ektrimisasi pendapat yang terjadi di kalangan sebagian umat Islam selama ini disebabkan kurangnya pengetahuan mereka dalam masalah ini. Akibatny pemikiran mereka terpola kepada satu golongan tertentu saja, sehingga pandangan keagamaannya menjadi sempit . Hal sepertri itulah yang memicu munculnya prilaku-prilaku radikal yang justru merugikan Islam itu sendiri. Di sinilah da’i ulama bertindak membuka wawasan umat, dengan menampilkan keragaman pendapat sebagai alternative dalam menentukan pilihan, dan bukan justru untuk berpijak berat sebelah, lalu menjadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk berpecah belah.

Jadi, menjadi da’i bukan sekedar padai pidato dengan sedikit pengetahuan yang dibumbui coleteh penghabis waktu, melainkan pengemban amanah Rasulullah mencerdaskan dan mendewasakan umat dalam berfikir dan bertingkah laku sehari- hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar