Selasa, 28 April 2009

“PERCERAIAN” POLITIK

Beberapa minggu yang lalu, ketika belum keluar statemen “bercerai” dari salah seorang pemimpin tertinggi bangsa yang kini masih berpasangan dan bersatu di lembaga kepresidenan, banyak rakyat berharap agar Susilo Bambang Yudoyono – Jusuf Kalla (SBY-JK) bisa menjadi contoh bagi generasi berikut yang mengedepankan kepentingan bangsa dari kelompok dan golongan, sehingga tetap berpasangan melanjutkan kepemimpinan nasional untuk masa lima tahun ke depan. Harapan itu kandas setelah Rapimnas Golkar memutuskan untuk memajukan JK sebagai calon presiden pada pemilihan presiden di bulan Juli yang akan datang.

Tentu saja semua itu adalah hak yang bersangkutan, dan juga hak partai politik di mana Jk berada dan menjadi ketua umumnya. Tetapi adalah juga hak rakyat untuk kecewa dengan keputusan tersebut. Harapan untuk menjadikan pasangan ini sebagai contoh buat pasangan-pasangan politik lainnya agar tidak mudah mengeluarkan kata “cerai” di kalangan pejabat tingkat bawah dalam struktur pemerintahan pun menjadi buyar. Ternyata, “pernikahan” politik tidak pernah langgeng, karena penuh dengan basa-basi dan kepura-puraan sementara. “Pernikahan” ini amat rapuh, sehingga lebih banyak siksanya dari pada sukanya. Kelihatannya, pasangan semacam ini tidak berusaha untuk menyatukan hati seletalah badan mereka disatukan, tetapi justru berupaya mencari kesempatan sendiri-sendiri untuk menaikan popularitas diri dan kelompoknya, sehingga “rumah tangga” mereka sangat sarat dengan nuansa kecurigaan.

Begitulah rupanya sejarah kebanyakan pasangan politik, baik presiden, gubernur, walikota, dan bupati. Hampir semuanya berakhir dengan “perceraian.” Cerai karena ternyata politik hanya mampu menyatukan badan mereka, tetapi tidak hati mereka. Apalah artinya badan bersatu di suatu tempat, sementara hati tetap berada di tempat yang berbeda. Sejarah pun akhir juga bicara bahwa apapun bentuknya, yang namanya politik tidak bisa menyatukan hati. Ia hanya bisa menyatukan pisik jasadi. Penyatuan jasadi adalah kepentingan dan panggilan keduniaan, sementara penyatuan hati adalah cita-cita dan keabadian. Oleh karenanya adalah sesuatu yang salah bila dunia seperti ini dibawa-bawa ke ranah lain yang bukan ranahnya kepentingan, seperti dunia dakwah dan dunia pendidikan. Dua dunia yang disebut terakhir adalah ranah idea, ranah cita-cita, dan ranah keabadian. Pendekatannya adalah cinta, sementara politik (baca: parktis) adalah curiga.

Tapi, bukankah begitu yang dinamakan politik, yang kalkulasinya lebih terarah kepada kepentingan diri atau kelompok dibanding kepentingan bersama ?

Jawabnya tidak harus selalu begitu. Idealnya, politik adalah untuk menata kehidupan bersama dalam bernegara, dan untuk kepentingan bersama dalam negara tersebut. Politik adalah sesuatu yang baik. Ia berubah menjadi jahat ketika berada di tangan orang jahat. Itulah makanya dalam ajaran Islam dikatakan bahwa imam, sang pemimpin politik, haruslah berasal dari orang yang benar-benar menganut prinsip bahwa jabatan adalah amanah yang harus dijaga dan pertanggungjawabkan, dan bukan rahmah yang boleh dinikmati sebagai sebuah pemberian dan kesempatan.

Maka, bisakah kita di bulan Juli nanti mendapatkan pemimpin seperti yang diajarkan Islam itu ? Marilah kita coba memilih dan memilah. Jejak masa lalu calon yang akan tampil menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini nanti adalah diantara cermin untuk mengukur mana yang bisa menjaga amanah, dan mana pula yang hanya sekedar mencari “berkah.” Marilah kita bersatu karena hati, bukan karena materi. Di hati ada bisikan ilahi, sementara di materi banyak bisikan syaithani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar