Senin, 18 Mei 2009

KETIKA BERDIRI DI DEPAN KACA

Agaknya, tidak ada manusia yang tidak pernah berdiri di depan kaca, bercermin melihat wajahnya, melihat rambutnya, melihat tubuhnya, melihat semua yang ingin ia ketahui tentang jasad kasarnya. Cermin dan bercermin seakan telah menjadi salah satu kebutuhan yang sangat melekat dengan keseharian hampir semua manusia. Selama ada sarana, selama itu pula manusia tidak pernah lupa bercermin, di rumah, di kantor, dan bahkan di toilet-toilet umum di mall dan lain sebagainya.

Secara umum, bercermin adalah ativitas keseharian seseorang untuk mengetahui potret tubuh yang sebenarnya pada saat itu. Apakah rambutnya masih utuh, sudah rapi, atau sudah ada yang gugur, mulai botak atau beruban. Apakah wajahnya terlihat segar, dan masih licin seperti dulu, atau sudah mulai layu atau kuyu dimakan usia. Apakah baju, celana, dan sepatunya sudah rapi dan serasi, cara pasang atau paduan warnanya. Apakah tubuh dan performannya secara kesaluruhan sudah fit untuk mulai beraktivitas di hari itu secara mayakinkan, sehingga kepercayaan diri muncul dan kerjapun menjadi lancar. Semua dipatutnya, semua dinilainya dengan daya kritis yang tinggi. Mereka berusaha keras memperbaiki mana yang dinilai belum pas, dan tidak segan-segan mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk memperbaiki penampilan fisik, tubuh kasar yang terlihat di dalam cermin itu. Tetapi, pernahkah mereka juga melakukan kritik terhadap akhlak dan prilaku kesehariannya ketika beridir di depan kaca itu ?

Inilah persoalan manusia pada umumnya, persoalan bangsa Indonesia kita pada khususnya. Krisis yang runtun beruntun sejak lebih dari sebelas tahun lalu dan belum pulih sampai hari ini diyakini tidak akan pulih sehat kembali sebelum akhlak bangsa ini sehat kembali terlebih dahulu. Mereka berdiri di depan kaca hanya untuk melihat poter tubuh kasarnya, tetapi tidak berusaha untuk melihat dan mengoreksi kepribadian yang berada dalam batang tubuh kasarnya itu. Padahal lebih dari 14 abad silam Nabi telah mengajarkan apa yang harus diakukan ketika bersolek memperindah diri, ketika berdiri di depan kaca. Nabi yang agung itu mengajarkan sepotong do’a singkat untuk selalu dibaca ketika melihat keeelokan tubuh di depan cermin. Ada dua macam do’a yang beliau ajarkan untuk itu: Pertama, “Ya Allah, percantiklah aku dengan ilmu dan takwa. HIasilah aku dengan hati yang lembut dan budi pekerti yang mulia;” Kedua, “Ya Allah, sebegaimana Engkau telah elokkan rupaku, maka elokkan pulalah akhlakku.”

Saya fikir, doa yang diajarkan Nabi di atas tidak harus hanya teruntuk dan terhenti di depan kaca cermin dalam ukuran kecil yang tergantung di dinding kamar dan di ruang-ruang tertentu. Doa itu juga harus diucapkan di depan “kaca” lebar yang terbentang sebagai alam luas di depan mata. Sebagai bangsa yang dianugerahi alam yang indah, misalnya, kita berdo’a, “Ya Allah, Engkau anugerahkan kepada kami alam yang indah, maka indahkan pula akhlak bangsa kami di depan-Mu dan di depan mata bangsa-bangsa yang lain.” Sebagai bangsa yang dianugerahi bumi yang kaya, kita berdo’a, “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah anugerahkan kepada kami bumi yang kaya, maka kayakan pulalah jiwa bangsa kami dengan kebesaran jiwa sehingga kami menjadi bangsa yang pandai bersyukur, bangsa yang qana’ah, jauh dari jiwa kerdil yang rakus, sehingga kekayaan yang Engkau berikan ini sampai kepada anak cucu dengan selamat dan lestari.” Sebagai bangsa yang dianugerahi Negara yang luas, kita berdo’a, “Ya Allah sebagaimana Engkau telah luaskan negeri kami, luaskan jugalah wawasan kami, sehingga mampu memandang jauh ke depan, terhindar dari fikiran sempit yang hanya tahu kepentingan sesaat, lalu menabrak dan menubruk ke sana ke mari, melanggar aturan serta norma hidup yang sudah ada, hilang rasa dan perisa, dan hilang tenggangrasa dalam kehidupan bersama.”

Begitu indahnya doa yang diajarkan Rasul, dan tentu begitu indahnya pula akhlak yang diinginkan muncul dari pribadi yang berdoa itu. Tetapi mungkinkan itu semua terjadi bila yang bercermin itu tidak pernah berdoa seperti tiu, apalagi memang tidak berupaya ke arah itu ?

Marilah kita semua menjawabnya sendiri-sendiri, karena pertanggungjawaban di depan Sang Khalik nanti juga sendiri-sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar