Senin, 18 Mei 2009

ANTARA ULAR DAN ULAMA

Seorang ustaz berkata bahwa ia didatangi oleh salah seorang calon anggota legislative (caleg). Sang caleg minta petunjuk dan dukungan agar ia terpilih sebagai anggota legislative dalam pemilihan umum (pemilu) nanti. Untuk itu ia minta agar sang ustaz mau memberi pengajian di salah satu mesjid yang ia pilih untuk memperingati tahun baru hijriyah.
Apa yang dikatakan oleh si uztas di atas bukanlah hal yang baru di dunia politik. Dari dulu memang sering terjadi, ulama dijadikan “alat”, kalau tidak suka disebut diperalat. Bahkan cukup banyak bukti betapa ulama pun ikut bermain sebagai pemain politik, sebagai peran tambahan yang sebenarnya tidak ada larangan untuk itu.
Kecuali sebagai pemain, menggunakan ulama sebagai penasehat adalah cara yang amat dianjurkan oleh agama untuk dilakukan, apalagi oleh seorang calon pemimpim. Tetapi menjadikan mereka (ulama) sebagai alat, adalah cara yang berbahaya, baik untuk umat, apalagi untuk kesucian syariat. Berbahaya, karena dunia politik, terutama politik praktis, cenderung menggunakan kalkulasi untung-rugi dan atau kalah-menang. Kalkulasi seperti ini sering mendorong seseorang melakukan apa saja agar menang atau beruntung. Akibatnya, bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi bila seorang ulama ikut terseret ke dunia untung-untungan atau menang-menangan tersebut. Agama dengan segenap nilai-nilai sucinya akan ikut menjadi alat, bersamaan dengan diperalatnya sang ulama. Di sini, politik menjadi sesuatu yang jahat, dan akhirnya ulama atau bahkan agama pun bisa dinilai pula sebagai jahat. Implikasi lebih jauh akan terjadi seperti apa yang terjadi di Eropa sebelum zaman renaesance, di mana Negara dan agama dinilai sama jahatnya, sehingga raja dan “tuhan” pun perku dibunuh.
Tapi, terlepas dari itu semua, saya jadi ingat anekdot seorang teman tentang kebiasaan politisi tertentu dalam memperalat ulama. Teman itu berkata bahwa ulama bagi politisi tak ubahnya sebagai seekor ular bagi serorang tukang jual obat di pinggir jalan atau di tengah pasar. Untuk menarik perhatian orang, si tukang obat mengeluarkan ular dari karung yang dibawanya. Dengan kelihaiannya beraksi dan berbicara, si tukang obat mengatakan bahwa ular yang ada di tangannya itu bisa melakukan atraksi apa saja yang ia suruh. Akibatnya, orang mulai berkumpul, Mereka menanti saat-saat kapan si ular mulai beraksi. Tapi di saat itu pula, si tukang obat mulai mengalih-alihkan pembicaraan tentang kesehatan yang lama kelamaan mengarah kepada obat yang ingin ia jual. Sambil bercerita, ia memasukkan si ular ke dalam karung secara berangsur-angsur, mulai dari ekor, terus ke kepala dan akhirnya masuk semua ke dalam karung. Karung ditutup, dan si tukang obat melanjutkan jual obatnya tanpa menyinggung-nyinggung lagi keberadaan sang ular yang telah berjasa menarik pehatian khlayak berkumpul di sekitarnya. Ia terus saja berpidato sampai obatnya terjual habis, dan ular tinggallah sendiri dalam karung tanpa ada yang memperhatikannya sama sekali.
Agaknya anekdot di atas tidaklah terlalu berlebihan untuk mengingatkan kita, terutama mereka yang termasuk dalam dunia poitisi dan juga dunia ulama. Al-Mawardi, pakar ilmu politik yang hidup beberapa ratus silam pernah mengatakan bahwa politik dan agama sama pentingnya untuk kemashalatan manusia. Tetapi perlu diingat, agama bukan sebagai alat, tetapi sebagai pengingat. Politiklah sebagai alat untuk mengatur Negara, sementara agama sebagai penuntun jalannya politik, dan bukan politik yang akan memperalat agama. Kalau ini terjadi, maka yang akan terjadi adalah kehancuran.
Oleh sebab itu, politisi yang baik, adalah politisi yang berteman dengan ulama untuk menasehati ketika salah, untuk mengingatkan ketika lupa. Ia berteman dengan ulama bukan untuk memperalat ulama, tetapi untuk kepentingan rakyat dan bangsanya. Sebaliknya, ulama yang baik adalah ulama yang berteman dengan pemimpin sebagai sahabat. Ia komit memberiingat, karena sayang, ia terus memberi nasehat karena cinta. Ia tidak ingin orang yang disayang dan dicinta terjatuh dalam kesalahan, sehingga rakyat yang dipimpinpun ikut menanggung akibatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar